Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Elias, namun dia masih duduk terpaku di depan buku catatannya. Sudah setengah jam lebih dia menatap halaman kosong itu, pena di tangannya tak bergerak. Di kepalanya, bayangan konfrontasinya dengan Kevin beberapa minggu yang lalu masih menghantuinya. Meskipun ia tak berakhir dengan kekerasan, Elias tahu bahwa ketegangan belum sepenuhnya menghilang. Kevin mungkin saja menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyerang.
Elias menutup bukunya dengan napas berat, mencoba mendorong jauh pikiran-pikiran itu. Latihan seni bela diri bersama Mischa selalu memberinya ketenangan, jadi itulah yang ia butuhkan sekarang—mengalihkan fokusnya ke hal yang lebih positif.
Saat dia tiba di dojo, Mischa sudah menunggunya, mengenakan seragam bela diri dengan ekspresi serius namun hangat. “Kau terlihat tegang,” kata Mischa sambil melipat lengannya.
Elias tersenyum tipis. "Hanya pikiran-pikiran lama yang sulit hilang."
Mischa mengangguk. "Ya, itu butuh waktu. Tapi hari ini aku punya kabar baik."
Elias mengerutkan kening. "Apa itu?"
"Ada kompetisi seni bela diri lokal minggu depan," jawab Mischa sambil tersenyum. "Aku berpikir ini waktu yang tepat untukmu menunjukkan kemajuanmu."
Elias tertegun. Kompetisi? Selama ini, ia hanya berlatih untuk belajar mengendalikan dirinya dan membangun kekuatan. Dia tak pernah berpikir untuk berpartisipasi dalam sebuah turnamen. “Aku… Aku tidak yakin siap untuk itu,” katanya pelan.
Mischa mendekat, menepuk bahu Elias. "Kau sudah jauh berkembang, Elias. Ini bukan tentang menang atau kalah, ini tentang membuktikan pada dirimu sendiri bahwa kau bisa. Tidak ada tekanan, hanya kesempatan untuk tumbuh."