Kegembiraan menyelimuti Elias dan Mischa setelah kemenangan gemilang Elias di arena. Mereka merayakan pencapaian itu bersama teman-teman dojo, tawa dan sorakan menggema di sekitar mereka. Momen-momen seperti itu seharusnya menjadi titik puncak, tetapi kebahagiaan mereka tak berlangsung lama.
Di balik layar, Kevin, yang masih tergerak oleh rasa iri dan kemarahan, mulai menyebarkan rumor negatif tentang Elias. Dia berusaha merusak reputasi Elias di antara peserta lain, menggambarkannya sebagai pecundang yang hanya beruntung. Satu per satu, siswa yang dulunya akrab dengan Elias mulai menjauh. Elias merasakan dampak dari rumor tersebut ketika dia memasuki sekolah keesokan harinya.
Tatapan curiga dari teman-teman sekelasnya membuatnya merasa terasing. Beberapa berbisik dan saling menatap ketika dia lewat, dan suasana hatinya langsung turun. Mischa mencoba membela Elias, tetapi suaranya tampak seolah teredam di tengah kebisingan rumor yang berkembang. “Dia tidak seperti yang kalian katakan!” teriak Mischa kepada sekelompok siswa yang berdiskusi di sudut koridor, tetapi suaranya tampak sia-sia.
Suatu hari, saat duduk di kantin, Elias mendengar dua siswa berbicara di meja sebelahnya. “Kau yakin dia bisa menang lagi? Dia hanya beruntung,” salah satu dari mereka menyindir. Komentar itu seperti sembilu yang menancap di hatinya. Rasa percaya dirinya mulai runtuh, dan untuk pertama kalinya, dia mulai meragukan kemampuannya dan tujuan awalnya dalam kompetisi.
Elias tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia berbalik dan pergi tanpa menghabiskan makan siangnya. Dia berjalan ke taman sekolah, duduk di bangku, dan merenung. Kehilangan dukungan dari teman-temannya, ditambah dengan tekanan dari Kevin, membuatnya merasa terpuruk. Dalam keadaan emosional ini, hubungan persahabatannya dengan Mischa mulai terasa keruh. Mischa mencoba menghiburnya, tetapi frustrasi muncul ketika dia merasa tidak bisa membantu.
Malam itu, saat mereka berlatih di dojo, Mischa berusaha membuka dialog dengan Elias. “Kau tidak bisa membiarkan mereka mengubah siapa dirimu. Kau lebih kuat dari ini,” katanya dengan tulus. Mereka berdua berhenti berlatih dan duduk di sudut dojo, tempat mereka bisa berbicara secara pribadi.