Hari yang dinanti-nanti, akhirnya tiba. Suasana di dojo dipenuhi semangat dan ketegangan. Elias dan Mischa bersiap-siap untuk pertandingan penentuan yang telah mereka latih dengan keras. Mereka menyadari bahwa ini lebih dari sekadar kompetisi; ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri mereka di depan teman-teman dan melawan kebencian yang disebarkan oleh Kevin.
Setiap latihan di minggu-minggu sebelumnya dipenuhi dengan intensitas yang tak tertandingi. Mischa selalu ada di sisi Elias, memberikan dukungan dan semangat. Mereka berbagi harapan dan ketakutan, dan dalam satu percakapan mendalam, Mischa menekankan, “Ingat, Elias, kita tidak bisa mengontrol hasil, tapi kita bisa mengontrol usaha kita. Berikan yang terbaik, terlepas dari apapun yang terjadi.”
Elias mengangguk, tetapi meskipun kata-kata itu menguatkan, keraguan dan ketakutan akan kegagalan terus menghantuinya. Bayangan Kevin yang mengejek dan rumor yang beredar membuat rasa percaya dirinya tergerus. Namun, setiap kali ia meragukan kemampuannya, Mischa selalu hadir, menjadi suara pengingat akan tujuan dan tekadnya.
Akhirnya, hari pertandingan pun tiba. Arena pertandingan dipenuhi oleh penonton yang bersemangat, semua ingin menyaksikan pertarungan sengit ini. Suara sorakan dan teriakan membangkitkan semangat, tetapi di antara kerumunan, Elias melihat sosok Kevin. Dia berdiri di sisi tribun, wajahnya menyeringai penuh percaya diri, tampak siap untuk menyaksikan kegagalan Elias.
Saat pertandingan dimulai, ketegangan memuncak. Elias merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya. Dengan segala yang telah dia pelajari, dia melangkah maju dengan tekad. Pertandingan pertama melawan lawan yang tangguh. Elias berusaha menerapkan teknik yang telah dilatihnya, tetapi kehadiran Kevin dari jauh seolah menjadi gangguan konstan. Setiap kali Elias melakukan gerakan, dia mendengar suara Kevin berteriak, “Kau tidak akan bisa mengalahkannya!” yang mengalihkan fokusnya.