Kota asal mereka, dengan jalanan yang dikenali dan bangunan-bangunan tua, menyambut Elias dan Mischa dengan kehangatan nostalgia. Hari itu, mereka kembali untuk merayakan reuni sekolah, tetapi bagi Elias, perasaan yang menggelayuti hatinya lebih dalam daripada sekadar keceriaan reuni. Saat mereka melangkah melewati taman tempat mereka sering bermain sebagai anak-anak, kenangan berwarna-warni dan kenangan kelam berbaur dalam pikirannya.
Mischa, yang berjalan di sampingnya, menyadari ketenangan Elias. “Kamu ingat ketika kita membuat tenda di bawah pohon besar itu?” tanyanya, berusaha mencerahkan suasana. Elias tersenyum, meskipun rasa rindu akan masa lalu itu sulit untuk diungkapkan. Taman itu menyimpan banyak cerita, dari tawa bahagia hingga air mata sedih, dan saat ini semua itu terasa hidup kembali.
Suasana reuni di aula sekolah sangat riuh, penuh dengan tawa dan pelukan hangat. Elias dan Mischa berbaur dengan teman-teman lama mereka, tetapi di antara tawa dan kehangatan, ketegangan masih terasa. Beberapa wajah yang mereka lihat adalah wajah-wajah yang pernah memberi mereka luka di masa lalu.
“Apakah kamu siap untuk bertemu mereka?” tanya Mischa, menyadari kegugupan yang mulai menyelimuti Elias. “Kita bisa menghindar jika kamu mau.”
Elias menggelengkan kepala. “Tidak, kita harus melakukannya. Ini bagian dari perjalanan kita.” Dengan tekad yang baru, mereka melangkah lebih jauh ke dalam kerumunan, menjangkau masa lalu mereka dengan penuh harapan.
Tak terduga, dalam kerumunan, Elias menemukan Kevin, mantan teman yang pernah menjadi sumber ketidaknyamanan dan rasa sakitnya. Kevin kini tampak berbeda—lebih dewasa dan terlihat menyesal. “Elias!” serunya, suara penuh harap. “Bolehkah kita bicara?”
Elias terdiam sejenak, merasa campur aduk. Namun, dia akhirnya mengangguk. Mereka bergerak ke sudut yang lebih tenang, jauh dari keramaian. Kevin menghela napas dalam-dalam. “Aku tahu kita punya sejarah yang sulit. Aku ingin minta maaf atas semua yang terjadi. Aku tidak tahu saat itu betapa sakitnya yang aku sebabkan. Aku telah berusaha memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan.”
Elias merasakan beban di hatinya mulai terangkat. Dalam keheningan, dia merenungkan kata-kata Kevin. “Aku mengingat semua rasa sakit itu. Tapi aku juga tahu kita semua membuat kesalahan,” ujarnya pelan. “Mengampuni bukanlah hal yang mudah, tapi aku mencoba.”
Saat kembali ke kelompoknya, Elias tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan dengan Kevin. Dalam hatinya, dia merenungkan pengalaman pahit itu dan bagaimana rasa sakit tersebut telah membentuk siapa dirinya sekarang. Ia menyadari bahwa mengampuni tidak hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk dirinya sendiri.