Setelah kembali dari petualangan di kota besar, Elias dan Mischa merasakan getaran baru dalam jiwa mereka. Mereka duduk di bangku taman yang akrab, di tempat di mana segalanya dimulai—tempat di mana mereka merancang impian dan berharap akan masa depan yang lebih cerah. Meskipun suasana di sekitar mereka masih sama, perspektif yang baru mengubah cara mereka melihat segala sesuatu. Angin sepoi-sepoi membawa harapan, tetapi di sisi lain, juga menimbulkan rasa cemas tentang apa yang akan datang.
Elias menatap jauh ke arah cakrawala, pikirannya berkelana antara impian dan tanggung jawab. “Kita harus mulai merencanakan langkah berikutnya,” katanya, suara lembutnya terputus oleh bunyi burung berkicau. Mischa mengangguk setuju, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. “Tapi ke arah mana kita pergi? Rasanya semuanya begitu... membingungkan.”
Ketika mereka melanjutkan pembicaraan, perasaan keraguan dan kebingungan semakin membebani pikiran mereka. Elias berjuang dengan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang seni, sementara Mischa, yang baru saja merasakan ketertarikan baru dalam kesehatan mental, mempertimbangkan untuk mengambil jalur yang lebih praktis dan aman. “Aku hanya merasa, mungkin kita harus memilih jalan yang lebih jelas,” kata Mischa, matanya mencerminkan keraguan yang mendalam.
“Jalan yang jelas bukan berarti itu yang terbaik,” balas Elias, meski dalam hatinya juga ada keraguan. Dia merasa tertekan oleh harapan orang lain dan ekspektasi yang tertanam dalam dirinya. Ketegangan di antara mereka mulai meningkat ketika diskusi berubah menjadi argumen kecil tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Perasaan saling mendukung yang biasanya ada di antara mereka mulai retak.
Beberapa hari berlalu, dan perbedaan pandangan mereka semakin mencolok. Elias sering kali meluangkan waktu untuk menggambar, membayangkan dunia di sekitarnya, sedangkan Mischa mulai menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca buku-buku tentang psikologi dan kesehatan mental. “Kita berdua berada di jalur yang berbeda,” ujar Mischa saat mereka berjalan pulang dari kelas. “Dan itu membuatku merasa seperti kita kehilangan arah.”
“Apakah kita benar-benar kehilangan arah, atau justru menemukan jalur kita sendiri?” tanya Elias, matanya meneliti wajah Mischa. Mischa terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Keduanya menyadari bahwa meskipun langkah mereka mungkin berbeda, mereka tetap bisa saling mendukung.
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk mencari nasihat dari mentor mereka, seorang dosen yang selalu memberikan pandangan berharga. Dalam pertemuan tersebut, dosen mereka mendengarkan dengan seksama, memberikan ruang bagi keduanya untuk berbicara tentang kekhawatiran dan kebingungan mereka. “Setiap orang memiliki jalan yang unik. Terkadang, keputusan yang sulit adalah bagian dari proses pertumbuhan,” katanya bijak.