Bayang di Balik Luka

Arief Rahmanto
Chapter #20

Kembali ke Akar

Setelah satu tahun menjalani kehidupan di kampus, perasaan nostalgia mulai mengisi pikiran Elias dan Mischa. Mereka duduk berdua di bangku taman, di bawah langit biru cerah, merasakan ketidakberdayaan saat teringat tentang rumah. “Aku merindukan rumah,” ucap Elias, menggerakkan jarinya di atas permukaan kayu bangku yang sudah usang. “Semua kenangan itu… rasanya seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di sana.”

Mischa mengangguk, matanya menatap jauh ke arah horizon. “Aku juga. Rasanya kita sudah menjelajahi banyak hal baru, tetapi ada sesuatu yang hilang. Mungkin kita perlu kembali, melihat dari mana kita berasal,” katanya, semangatnya menyala. Dalam keheningan sejenak, mereka sepakat untuk melakukan perjalanan ke kota asal mereka. Kembali ke akar mereka, ke tempat yang telah membentuk diri mereka menjadi siapa mereka sekarang.

Saat mereka mempersiapkan perjalanan, perasaan campur aduk memenuhi hati mereka. Ada rasa rindu yang dalam, harapan untuk menemukan kembali kenangan indah, dan sedikit kecemasan tentang bagaimana segalanya telah berubah. “Apa yang akan kita temui di sana?” tanya Elias, dengan keraguan yang terlihat di wajahnya. Mischa hanya tersenyum, meyakinkan bahwa meskipun ada perubahan, rumah tetaplah rumah.

Perjalanan menuju kota asal mereka dimulai dengan penuh antusiasme. Mobil meluncur di jalanan yang familiar, dan saat melewati setiap tikungan, kenangan masa kecil seakan kembali hidup. “Ingat saat kita bermain sepeda di jalan ini?” tanya Mischa, matanya berbinar. “Kita sering terjatuh, tapi selalu tertawa.”

Elias tertawa, mengenang momen-momen lucu itu. “Dan ibu kita selalu memarahi kita karena pulang dengan luka-luka,” jawabnya, sambil menatap pemandangan yang berlalu. Jalanan yang dulunya terlihat kecil kini tampak lebih besar, seolah-olah waktu telah mengubah segala sesuatunya. Namun, rasa nostalgia tak dapat disangkal. Mereka mendengarkan lagu-lagu lama yang diputar di radio mobil, menambah kedalaman perasaan nostalgia.

Saat mobil melewati jembatan yang membentang di atas sungai yang sering mereka kunjungi, airnya berkilau di bawah sinar matahari. “Lihat itu! Masih sama seperti dulu,” seru Elias, jari telunjuknya menunjuk ke arah sungai. Kenangan manis tentang berlari-lari di tepi sungai kembali terbayang di benak mereka. Mereka bisa merasakan angin yang sejuk dan suara riang anak-anak bermain di sekitar mereka.

Perjalanan yang dulunya terasa biasa kini dipenuhi dengan makna. Setiap tempat yang mereka lewati menggugah kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. “Kita harus mencoba makanan yang dulu sering kita makan,” kata Mischa, menambahkan keinginan untuk merasakan kembali cita rasa masa lalu.


Setelah berjam-jam dalam perjalanan, mereka tiba di kota asal. Bangunan-bangunan tua dan jalanan sempit memberi nuansa nostalgia yang mendalam. Sekolah lama mereka berdiri megah, meski banyak perubahan terlihat. Mereka melangkah masuk ke halaman, merasakan kembali atmosfer yang akrab. “Kita sudah banyak tumbuh sejak saat itu,” kata Elias, melihat ke sekeliling dengan rasa kagum.

Saat memasuki gedung sekolah, kenangan-kenangan masa lalu menyerbu pikiran mereka. Koridor yang panjang, ruang kelas yang penuh suara tawa, dan meja-meja di mana mereka menghabiskan waktu berjam-jam belajar. Mereka mengunjungi ruang kelas yang dulu mereka tempati, dan meskipun tampak berbeda, ada kehangatan yang membuat mereka merasa di rumah.

Lihat selengkapnya