Hari itu dimulai dengan cerah di kampus. Suara bising langkah kaki mahasiswa dan suara deru kendaraan di luar menjadi latar belakang rutinitas harian Elias dan Mischa. Mereka baru saja menyelesaikan kelas seni yang menguras pikiran dan menyiapkan proyek kelompok yang sepertinya tak ada habisnya.
“Bagaimana kalau kita berkunjung ke kafe setelah ini?” tanya Mischa, matanya bersinar dengan harapan akan momen santai. Elias mengangguk setuju, tetapi dalam hatinya, ia merasa rutinitas ini mulai memudarkan semangatnya.
“Kadang aku merasa kita terjebak dalam rutinitas yang sama, ya?” Elias berkata sambil mengeluarkan buku catatannya. “Tapi, kafe itu selalu bisa membuatku merasa lebih baik.”
Kafe kecil yang mereka tuju terletak tidak jauh dari kampus, dihiasi dengan lukisan-lukisan seni lokal yang memberi nuansa hangat. Aroma kopi dan pastry yang baru dipanggang menyambut mereka saat melangkah masuk. Mereka memilih meja di sudut yang nyaman, di mana mereka bisa berbincang tanpa gangguan.
“Ini selalu jadi tempat favorit kita, ya?” Mischa tersenyum, mengenang momen-momen saat mereka belajar dan berdiskusi di sini.
Saat mereka menikmati kopi, tiba-tiba pintu kafe terbuka dan seorang gadis masuk, membawa aroma segar dari luar. Elias dan Mischa menoleh, dan wajah mereka seketika berubah.
“Aria?” Mischa tak percaya melihat sosok teman lama mereka yang sudah lama hilang dari pandangan.
Aria, dengan senyum lebar di wajahnya, berjalan menuju mereka. “Wow, kalian tidak berubah sama sekali!” Ia terlihat lebih dewasa, dengan gaya yang mencerminkan kepribadiannya yang ceria dan penuh semangat.
Setelah berpelukan hangat, mereka duduk dan mulai berbincang. Aria menceritakan bagaimana hidupnya telah berubah sejak mereka terakhir bertemu.