Bayang di Balik Luka

Arief Rahmanto
Chapter #39

Suara yang Hilang

Langit kelabu menyelimuti sore itu, seolah turut merasakan duka yang menyergap hati Elias dan Mischa. Mereka baru saja menerima kabar mengejutkan—kepergian seorang teman dekat, seseorang yang selama ini menjadi mentor, inspirasi, dan sahabat dalam perjalanan hidup mereka. Kabar ini datang tiba-tiba, memaksa mereka terhenti sejenak dari rutinitas yang selama ini mereka jalani.

“Kita baru saja berbicara minggu lalu...” gumam Elias, suaranya lemah. Ia menatap telepon genggamnya, seolah berharap pesan terakhir dari sang mentor akan berubah menjadi sebuah kabar bahagia. Namun, kenyataan sudah tak terbantahkan. Orang yang selama ini menjadi pemandu mereka kini telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak terbayangkan.

Mischa duduk di sebelah Elias, matanya berkaca-kaca namun ia berusaha menahan tangis. “Aku tidak bisa percaya ini terjadi,” ucapnya perlahan. Mereka saling diam, meresapi kesedihan yang dalam, merasa bahwa dunia seakan kehilangan satu dari sedikit suara yang membuat mereka merasa aman dan dimengerti.

Kenangan tentang momen terakhir yang mereka habiskan bersama mulai memenuhi pikiran. Momen sederhana, tetapi begitu bermakna. Elias teringat bagaimana mentornya selalu berbicara dengan tenang dan bijak, bahkan dalam situasi yang paling rumit. "Semua ini adalah bagian dari perjalanan," katanya kala itu, memberikan nasihat ketika Elias berada di persimpangan hidup, bingung memilih jalan yang harus ditempuh.

Bagi Mischa, pertemuan terakhir mereka adalah momen yang penuh tawa, saat mereka bercanda tentang rencana masa depan. “Dia selalu percaya bahwa aku bisa melakukan apa saja,” kenang Mischa, suaranya mulai bergetar. “Itu yang selalu dia katakan. Dan sekarang, dia tidak akan melihat semua yang akan terjadi.”

Mereka sadar, bahwa meski waktu yang mereka miliki bersama terbatas, momen-momen itu akan selalu hidup dalam kenangan mereka, menjadi pengingat betapa berartinya sosok yang telah hilang itu dalam hidup mereka.

Dalam diamnya, Elias mulai merenung. Kehilangan ini tidak hanya meninggalkan rasa hampa, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup dan arti kehadiran seseorang. "Kenapa selalu yang terbaik yang harus pergi lebih dulu?" tanyanya dalam hati, mencoba mencari makna di balik kehilangan yang begitu tiba-tiba dan menyakitkan ini.

Mischa pun merenungkan hal yang sama. "Apakah kita sudah cukup menunjukkan rasa terima kasih kita? Apakah kita benar-benar menghargai kehadirannya ketika dia masih ada?" Semua pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuatnya semakin sadar betapa rapuhnya kehidupan.

Perlahan-lahan, mereka mulai mengevaluasi hubungan yang mereka miliki dengan orang lain. Mereka mulai memikirkan apakah mereka telah cukup memberikan perhatian kepada orang-orang terdekat, atau apakah kesibukan hidup telah membuat mereka melupakan pentingnya kehadiran satu sama lain.

Lihat selengkapnya