Elias dan Mischa melangkah dengan perlahan, kembali menapaki jalan setapak yang telah lama tidak mereka lalui. Jalanan kecil di pinggiran kota yang membawa mereka ke sekolah lama kini tampak lebih sempit dan lebih tenang dari yang mereka ingat. Pohon-pohon yang dulu hanya setinggi anak-anak, kini tumbuh rindang, memayungi jalan dengan daun-daun hijau yang lebat. Mereka saling pandang, tersenyum kecil, teringat masa-masa ketika mereka hanya dua anak kecil yang penuh harapan, tanpa tahu apa yang menanti di masa depan.
“Kamu ingat tempat ini?” tanya Mischa, matanya menyapu sekitar taman kecil di dekat sekolah, tempat mereka sering bermain setelah jam pelajaran usai. Elias mengangguk pelan. Taman itu adalah saksi bisu perjalanan mereka. Begitu banyak cerita, tawa, bahkan air mata yang pernah jatuh di tempat ini. Mereka merasa terhubung kembali dengan masa lalu yang telah membentuk mereka menjadi pribadi seperti sekarang.
Langit cerah sore itu ketika mereka tiba di gerbang sekolah lama mereka. Dinding-dinding bangunan itu masih berdiri kokoh, meski tampak beberapa bagian telah direnovasi. Ada suasana yang tak asing, tetapi juga terasa begitu berbeda. Anak-anak yang berlari di halaman sekolah, suara bel yang menggema, dan suara riuh canda tawa dari ruang kelas—semuanya membawa kenangan yang dulu terasa sangat dekat, namun kini seperti bagian dari masa yang jauh.
Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah, mengenang ruang-ruang kelas yang dulu menjadi tempat mereka belajar dan bertumbuh. Beberapa guru masih ada, meskipun kebanyakan sudah pensiun. Elias dan Mischa menyempatkan diri bertemu dengan beberapa guru yang masih mereka kenal. Salah satunya adalah Pak Herman, guru matematika yang dulu begitu mereka kagumi. "Kalian sudah jauh berkembang," ucap Pak Herman sambil tersenyum bangga.
Setelah pertemuan dengan para guru, Elias dan Mischa duduk di taman belakang sekolah, tempat mereka dulu sering berkumpul dengan teman-teman sekelas. “Kita sudah banyak berubah, ya?” kata Elias tiba-tiba, suaranya penuh refleksi. “Kalau aku pikir-pikir, aku bahkan tidak menyangka kita bisa sampai di titik ini. Kita begitu berbeda dulu.”
Mischa mengangguk, menatap rerumputan yang bergoyang pelan. “Ya, tapi justru itu yang membuat perjalanan ini berharga. Semua yang kita lalui—kegagalan, kemenangan, semua keputusan yang dulu terasa sulit—itu yang membuat kita jadi seperti sekarang.” Mereka berbincang tentang betapa pentingnya setiap keputusan yang mereka ambil di masa lalu. Mereka mulai melihat kesalahan bukan sebagai sesuatu yang harus disesali, tetapi sebagai batu pijakan yang telah membentuk karakter mereka.
Namun, tidak semua kenangan yang mereka ingat adalah kenangan manis. Elias mengakui bahwa ada beberapa hal dari masa lalunya yang selama ini ia coba lupakan. Seperti ketika ia merasa diabaikan oleh teman-temannya karena kegagalannya dalam sebuah ujian penting. “Waktu itu, aku merasa sangat kecil,” katanya. “Seolah-olah semua usahaku sia-sia.”