Langit di atas kampus mulai berwarna kelabu, seolah mencerminkan suasana hati para mahasiswa yang semakin mendekati ujian akhir semester. Aula yang biasanya ramai dengan canda tawa kini terasa penuh tekanan. Beberapa mahasiswa tampak tenggelam dalam buku catatan mereka, mencoba menghafal materi yang entah sudah berapa kali mereka baca. Di sudut lain, tampak beberapa yang mulai lelah, menengadah ke langit-langit sambil berharap ada sedikit keajaiban yang bisa membantu mereka melewati ujian ini.
Elias dan Mischa merasakan kecemasan yang sama. Ujian akhir ini bukan hanya sekadar tes biasa, tetapi juga penentu masa depan mereka. Kegagalan dalam ujian ini bisa membuat impian mereka terancam, dan tekanan itu terus menghantui mereka setiap kali membuka buku. Elias merasa dadanya sesak setiap kali ia berpikir tentang hasil akhir. Sedangkan Mischa, yang biasanya tenang, mulai merasakan ketidakpastian.
“Kita bisa melewati ini, kan?” tanya Elias suatu malam saat mereka berdua duduk di kamar asrama, dikelilingi buku-buku dan kertas catatan yang berserakan. Mischa menoleh ke arahnya, berusaha tersenyum. “Kita harus bisa,” jawabnya, meski nadanya tak sepenuh keyakinan yang biasanya ia miliki.
Suatu sore, mereka memutuskan untuk belajar bersama di kafe kampus. Tempat itu biasanya penuh dengan mahasiswa yang belajar dalam kelompok kecil. Suasana di kafe terasa lebih santai, meski kegelisahan masih menghantui setiap obrolan yang muncul di antara halaman-halaman buku.
Mereka memilih meja di pojok kafe, tempat yang tenang namun tetap memungkinkan mereka untuk mengobrol tanpa gangguan. Elias membuka laptopnya, sementara Mischa menyebarkan beberapa catatan di hadapannya. “Oke, kita bahas materi yang paling sulit dulu,” kata Mischa, mengambil inisiatif. Elias mengangguk, mengikuti arus.
Diskusi mereka mengalir lancar. Setiap kali salah satu dari mereka kesulitan memahami konsep, yang lain dengan sabar membantu. Ketika Elias mulai frustasi dengan soal analisis data yang rumit, Mischa mengarahkan pikirannya kembali dengan beberapa kata dorongan. Dan ketika Mischa merasa jenuh, Elias mengajaknya berhenti sejenak untuk sekedar tertawa kecil dan melepas ketegangan.
“Kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah berhenti sebentar dan menikmati kopi,” kata Elias sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Di sela-sela obrolan dan diskusi, muncul tantangan yang tak terhindarkan. Elias merasa terjebak dalam materi ekonomi yang membingungkan, sedangkan Mischa mulai merasa terbebani oleh ekspektasi tinggi yang ia pasang pada dirinya sendiri. Tekanan dari luar, harapan keluarga, dan keinginan mereka untuk sukses semua bertumpuk di kepala mereka.