Matahari mulai terbit, menyinari kota yang mulai bergerak kembali setelah musim ujian berakhir. Bagi sebagian besar mahasiswa, masa-masa ini diisi dengan euforia, kebebasan, dan perayaan kecil-kecilan setelah berminggu-minggu penuh stres. Namun bagi Elias dan Mischa, masa setelah ujian tidak semata-mata membawa kelegaan. Ada hal yang lebih besar menanti di depan, sesuatu yang tak dapat mereka hindari: pertanyaan tentang masa depan.
Kini, setelah semua buku ditutup, dan lembar soal ujian tersimpan dalam arsip kampus, mereka harus mulai menghadapi kenyataan. Ujian bukanlah akhir, melainkan pintu ke sebuah dunia yang jauh lebih kompleks. “Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanya Elias, duduk di depan laptop di kamarnya. Matanya menatap kosong pada layar, di mana berbagai opsi karir dan peluang terlihat mengambang tanpa arah pasti.
Mischa, yang duduk di sebelahnya dengan setumpuk brosur seminar dan lowongan pekerjaan di pangkuannya, hanya bisa menggelengkan kepala. “Aku juga tidak tahu. Kita sudah sampai di titik ini, tapi aku merasa lebih bingung daripada sebelumnya.”
Sebuah undangan seminar pengembangan karir yang mereka temukan di papan pengumuman kampus menarik perhatian mereka. Seminar itu menjanjikan wawasan baru dari para profesional yang telah sukses dalam berbagai bidang. Elias dan Mischa memutuskan untuk menghadirinya, berharap bisa mendapatkan inspirasi atau setidaknya sedikit pencerahan.
Saat mereka tiba di aula yang dipenuhi mahasiswa dan calon profesional muda lainnya, suasana terasa penuh harapan. Di atas panggung, seorang pembicara yang berkarisma memulai presentasinya. Dia menceritakan perjalanannya dari seorang mahasiswa yang kebingungan—seperti mereka—hingga menjadi pemimpin di perusahaan besar. Kisahnya tentang perjuangan, kegagalan, dan akhirnya sukses membuat Elias dan Mischa terdiam merenung.
"Kalian mungkin tidak tahu ke mana hidup akan membawa kalian," katanya, "tapi yang penting adalah bagaimana kalian terus bergerak maju, mencoba hal-hal baru, dan menemukan jalan kalian sendiri."
Kalimat itu terngiang dalam kepala mereka. Meski masih merasa bingung, Elias dan Mischa tahu bahwa langkah pertama yang mereka butuhkan adalah keberanian untuk mencoba.
Setelah seminar, mereka berdua duduk di sebuah kafe kecil dekat kampus. Kopi hangat di tangan mereka tampaknya tak cukup untuk menghangatkan pikiran mereka yang dipenuhi pertanyaan. “Apa sebenarnya yang kita inginkan?” Elias membuka percakapan dengan nada ragu. “Apakah kita benar-benar ingin melanjutkan ke jalur yang selama ini kita kejar? Atau kita hanya mengikuti arus tanpa tahu tujuan?”
Mischa merenung sejenak, lalu berkata, “Aku rasa impianku selalu berubah. Dulu, aku hanya ingin bekerja di perusahaan besar, punya karir cemerlang. Tapi sekarang, setelah melewati semua ini, aku mulai merasa ada hal lain yang lebih penting.”