Bayang di Balik Luka

Arief Rahmanto
Chapter #48

Kembali ke Awal

Kota kelahiran mereka menyambut dengan hangat ketika Elias dan Mischa melangkah keluar dari mobil, aroma khas tanah basah dan pohon-pohon yang berbuah mengingatkan mereka pada masa kecil yang penuh kenangan. Setiap sudut jalan, setiap bangunan yang mereka lewati, membawa kembali kenangan manis yang terpendam dalam benak mereka. Mischa menarik napas dalam-dalam, “Rasanya seperti kembali ke masa lalu,” ujarnya, matanya berbinar melihat taman kecil di sudut jalan, tempat mereka biasa bermain.

Perasaan nostalgia mengalir deras, menggambarkan perjalanan yang telah mereka lalui. Meskipun mereka telah tumbuh dan berubah, tempat-tempat ini tetap menjadi saksi bisu dari semua suka dan duka yang mereka alami.

Hari itu menjadi lebih istimewa ketika mereka berencana untuk bertemu dengan teman-teman lama dari sekolah menengah. Di kafe kecil yang selalu ramai, mereka melihat wajah-wajah yang sudah lama tak mereka jumpai. Suara tawa dan cerita mengisi ruangan, membawa kembali kenangan-kenangan indah. Kevin, teman dekat mereka, berdiri di pojok kafe dengan senyum lebar, dan segera menghampiri mereka.

“Lama tak jumpa! Kalian terlihat hebat!” kata Kevin, memeluk Elias dan Mischa. Interaksi hangat ini membuat mereka merasakan kebersamaan yang tak terputus, meskipun waktu dan jarak telah memisahkan mereka.

“Mau tahu apa yang paling lucu? Aku masih ingat ketika kita semua pernah terjebak di kelas olahraga,” kata salah satu teman mereka. Kafe itu dipenuhi tawa, dan setiap cerita yang dibagikan mengingatkan mereka akan perubahan yang telah terjadi dalam diri masing-masing.

Kunjungan ke sekolah lama menjadi momen refleksi yang penuh emosi. Dinding-dinding sekolah yang dulunya menjadi tempat mereka belajar dan berjuang kini tampak lebih kecil, tetapi kenangan yang tersimpan di dalamnya terasa lebih besar dari sebelumnya. Mereka berjalan menyusuri koridor, melihat foto-foto lama yang dipajang di dinding, dan merasakan kehangatan dari tempat yang telah membentuk mereka.

Elias berhenti di depan kelas mereka dulu, mengenang saat-saat sulit dan bahagia. “Aku masih ingat semua ujian yang kita hadapi,” katanya, sambil tersenyum penuh nostalgia. Mischa mengangguk setuju, merasakan campur aduk antara kebanggaan dan rasa syukur. “Kita sudah jauh dari sana,” ujarnya, menyadari seberapa banyak mereka telah tumbuh.

Selama kunjungan ini, Elias dan Mischa memutuskan untuk terlibat dalam proyek pengabdian masyarakat di kota mereka. Menggunakan keterampilan musik mereka, mereka mengorganisir kelas musik untuk anak-anak kurang mampu. Saat mereka mengajarkan anak-anak, terlihat kebahagiaan dan semangat di mata anak-anak tersebut.

Lihat selengkapnya