Bel sekolah berbunyi nyaring, menggema di setiap sudut SMA Nusantara. Seperti biasanya, Nathan berjalan pelan dengan punggung sedikit membungkuk. Rambut hitamnya yang acak-acakan hampir menutupi matanya. Ia melangkah di lorong kelas dengan wajah yang selalu terlihat ragu-ragu, seakan-akan menahan beban yang tak terlihat.
"Hei, Nat, kamu udah kerjain PR Matematika belum?" tanya Dimas, salah satu temannya yang cukup akrab.
Nathan mengangguk kecil. "Udah. Mau lihat, Dim?" tanyanya dengan suara pelan.
Dimas langsung berseri-seri. "Ya ampun, kamu penyelamat hidupku! Gue bakal dimakan Pak Budi kalau gak setor PR hari ini."
Nathan menyerahkan buku catatannya. Ia hanya tersenyum tipis, tak menolak membantu. Tak ada yang tahu bahwa di balik sikap lemah lembutnya, ada sisi lain dari dirinya yang jauh lebih gelap, sisi yang disembunyikannya rapat-rapat dari semua orang di sekolah ini.
Jam istirahat, Nathan duduk sendirian di bangku taman, memegang buku pelajaran yang sebenarnya tak benar-benar ia baca. Tatapan matanya melayang ke arah sekumpulan siswa yang sedang bercanda, namun pikirannya jauh dari tempat itu.
“Nat! Kok sendirian aja?” sapa Sarah, salah satu siswi yang terkenal ceria dan sering menyapa semua orang.
Nathan tersentak, lalu tersenyum kecil. "Oh, enggak. Aku cuma lagi baca aja."
“Baca apa sih? Kamu selalu rajin banget.” Sarah duduk di sampingnya tanpa menunggu jawaban.
Namun sebelum percakapan mereka berlanjut, sebuah keributan terdengar di lapangan parkir sekolah. Sekumpulan siswa berkerumun, dan dari tengah kerumunan itu terdengar suara bentakan.
"Jangan berani-berani lawan gue, paham?!"
Nathan mendesah pelan, lalu menutup bukunya. Ia tahu keributan macam apa itu. Perlahan ia bangkit, matanya memicing tajam ke arah kerumunan, namun ekspresinya tetap datar.
Sarah mengerutkan kening. "Kamu mau ke sana?"
Nathan hanya mengangguk kecil.
Ketika ia mendekat, suara itu semakin jelas. Rupanya Adi, siswa kelas sebelah yang dikenal suka mencari masalah, sedang memaksa seorang siswa lain menyerahkan uangnya.