Nathan tiba di markas dengan suara deru motor yang memekakkan telinga. Semua mata segera tertuju padanya. Anggota gengnya, yang biasanya terlihat santai atau bercanda, kini berdiri tegang. Mereka tahu ada sesuatu yang serius terjadi.
"Siapa yang tahu tentang gue?" Nathan langsung bertanya dengan nada dingin begitu ia turun dari motor. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya penuh ancaman.
Seorang pria bertubuh kekar bernama Roni maju selangkah. Ia adalah tangan kanan Nathan sekaligus orang yang paling dipercaya di geng tersebut.
"Ketua," Roni memulai dengan nada hati-hati, "ada informasi dari orang kita di barat. Katanya ada kelompok baru yang nyari tahu tentang lo. Mereka udah dapet info dasar. Nama lo, sekolah lo. Bahkan jadwal lo."
Nathan mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai mendidih. "Kelompok mana?"
Roni menggeleng. "Belum pasti, tapi kemungkinan besar geng Serigala Hitam. Mereka lagi cari cara buat ngambil alih wilayah kita. Kalau mereka tahu lo masih sekolah—dan bukan cuma itu, tapi sisi lo yang di sekolah—mereka bakal pake itu buat jatuhin lo."
Nathan mengangguk pelan, berusaha meredakan pikirannya yang berputar cepat. “Apa langkah mereka sejauh ini?”
Roni melanjutkan, "Belum ada pergerakan besar, tapi beberapa orang kita udah diintai. Gue yakin ini cuma awal."
Nathan terdiam sejenak. Ia menatap ke kejauhan, pikirannya bercabang. Dunia yang ia bangun selama ini mulai terasa seperti kartu domino yang siap runtuh.
**
Keesokan harinya, di SMA Nusantara, Nathan kembali mengenakan wajah lemah dan pendiamnya. Ia berjalan melewati lorong seperti biasa, mencoba menghapus bayang-bayang masalah yang melilit pikirannya.
Namun, suasana pagi itu terasa berbeda. Ada bisikan-bisikan di antara siswa, tatapan-tatapan curiga yang dilemparkan ke arahnya. Ia tidak tahu apakah itu hanya perasaannya atau sesuatu benar-benar telah berubah.
“Nat,” panggil suara yang ia kenal baik. Sarah muncul dari kerumunan, ekspresinya seperti ingin menanyakan sesuatu yang berat.
Nathan berhenti, menatap Sarah dengan senyum kecil yang dipaksakan. “Ada apa, Sarah?”
Sarah melipat tangan di dadanya, matanya menatap tajam ke arah Nathan. “Kemarin... di lapangan parkir. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Nathan menelan ludah, berusaha meredam kepanikan yang muncul di dadanya. “Aku cuma gak suka lihat orang dibully, itu aja.”
“Tapi caramu…” Sarah terdiam sejenak, mencoba mencari kata yang tepat. “Kamu bukan cuma ‘nolong’. Kamu kelihatan seperti… orang lain.”
Nathan tersenyum tipis. “Mungkin kamu cuma terlalu mikirin, Sarah. Aku tetap Nathan yang biasa.”