Bayang di Balik Roda

Aqiel Hilmy Irawan
Chapter #5

Di Bawah Langit Merah

Fajar menyingsing, membawa warna oranye lembut di ufuk timur. Nathan masih duduk di atas atap markasnya, matanya lekat menatap horison. Pikirannya penuh dengan strategi baru, langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan Serigala Hitam benar-benar tunduk. Namun, di balik semua itu, wajah Sarah terus berkelebat, membuat dadanya terasa sesak.


“Nat, lo masih di sini?” Suara lembut namun tegas membuyarkan lamunannya. Itu Sarah, berdiri di ujung tangga atap dengan jaket denim kesayangannya. Rambut panjangnya yang tergerai terlihat basah oleh embun pagi.


Nathan terkejut. “Sarah? Kenapa lo di sini? Ini masih pagi.”


“Aku bisa tanya hal yang sama,” balas Sarah, berjalan mendekat. “Roni bilang lo belum tidur semalaman.”


Nathan menghela napas, menyesap soda yang sudah hampir dingin sepenuhnya. “Gue nggak bisa tidur. Banyak yang harus gue pikirin.”


Sarah duduk di sebelahnya, mendekap kedua lututnya sambil memandangi langit. "Kamu nggak harus selalu tanggung semuanya sendirian, Nathan. Aku tahu kamu kuat, tapi setiap orang punya batasnya."


Nathan tersenyum kecil, tapi senyumnya hambar. “Sarah, lo nggak ngerti dunia gue.”


“Kalau gitu, kasih tahu aku,” desak Sarah, matanya mencari-cari jawaban di wajah Nathan. “Aku bisa bantu, Nat. Aku nggak mau lihat kamu terus-terusan kayak gini, hidup di bawah bayang-bayang bahaya.”


Nathan terdiam sejenak. Ia ingin menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir, tapi ada sesuatu yang menahannya. Ia takut. Takut Sarah akan menjauh jika tahu dunia gelap yang ia hadapi.


“Lo nggak bisa terlibat, Sarah,” kata Nathan akhirnya, suaranya dingin. “Lo terlalu penting buat gue, dan gue nggak akan maafin diri gue kalau lo kenapa-kenapa.”


Sarah menggigit bibirnya, terlihat kecewa. “Kamu selalu ngomong kayak gitu. Kamu bilang aku penting, tapi kamu nggak pernah kasih aku kesempatan buat bantu. Apa kamu pikir aku nggak cukup kuat?”


“Bukan gitu maksud gue,” jawab Nathan cepat. “Gue tahu lo kuat. Tapi dunia gue bukan tempat buat lo.”


Sarah berdiri, pandangannya tajam menembus Nathan. “Kalau kamu terus-terusan menjauh, Nat, aku nggak yakin aku bisa tetap di sini. Aku nggak bisa hanya jadi seseorang yang kamu lindungi. Aku mau jadi seseorang yang bisa berdiri di samping kamu.”


Nathan tertegun, tapi sebelum ia sempat menjawab, Sarah sudah berbalik dan pergi meninggalkannya. Langkahnya cepat, seolah menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.


***


Di tempat lain, Lobo menatap peta besar yang tergantung di dinding gudang barunya. Anak buahnya masih sibuk memindahkan barang-barang dari markas lama. Kekalahan semalam masih membakar amarahnya. Ia tidak bisa membiarkan Nathan menang begitu saja.


“Bos, kita harus balas,” kata salah satu anak buahnya, seorang pria bertubuh besar dengan tato ular melingkar di lengannya.


Lobo mendengus. “Tentu saja kita akan balas. Tapi kita nggak akan gegabah. Nathan mungkin menang semalam, tapi dia nggak tahu apa yang gue siapkan.”


Ia membuka sebuah kotak kayu kecil di atas meja. Di dalamnya ada sepucuk surat dengan cap merah, simbol sebuah geng dari kota lain. Geng itu dikenal brutal dan tak kenal ampun, dan Lobo tahu mereka adalah kunci untuk membalikkan keadaan.


Lihat selengkapnya