Bel istirahat berbunyi tiga kali, siswa berhamburan keluar dari kelas-kelas beberapa detik kemudian dengan suara riuh. Sebagian besar dari mereka langsung lari ke arah kantin sekolah untuk melepas dahaga dan lapar. Beberapa siswa menunggu teman se-genk-nya di pintu gerbang sekolah untuk mencari makan di luar.
Walaupun ada kantin di dalam lingkungan sekolah, banyak siswa memilih kantin yang berada di lingkungan rumah warga. Walaupun harus ditempuh dulu dengan berjalan kaki beberapa menit. Warung emak, demikian mereka menyebut kantin itu, alasan utama mengapa di warung itu ramai adalah di sana bebas merokok. Tetapi tidak semua siswa yang nongkrong di sana semuanya merokok. Warung Emak tidak hanya dimonopoli oleh siswa, ada juga beberapa siswi yang ikut meramaikan.
Alpha setengah berlari mengejar dua orang siswi yang asyik bercakap-cakap sambil berjalan menuju gerbang sekolah. Dia sedikit berkeringat saat berhasil menyusul mereka.
“Hey!” sapa Alpha, kedua siswi itu menoleh.
“Halo, Kak.” Mereka berhenti dan membalas menyapa hampir bersamaan. Kakak kelas dua tingkat di atas mereka itu sibuk menyeka keringatnya, sepertinya dia sudah mengejar cukup jauh.
“Kalian mau ke mana?” ujar Kemal sambil membenarkan posisi topi warna hitamnya yang sepertinya tadi agak miring.
“Mau fotokopi materi, Kak,” jawab salah seorang dari mereka sambil menujukan lembar kertas di tangannya.
“Senja, aku mau bicara sebentar, boleh?” Siswi yang dipanggil Senja itu mencolek temannya untuk meminta pendapat.
“Gimana, Din?” Senja merapikan rambut sebahunya yang tertiup angin.
Alpha mencuri pandang, dia terkesima dengan sosok di depannya. Rambut berwarna hitam pekat, kontras sekali dengan kulit putihnya yang bersaing dengan seragam putih miliknya.
“Well, it’s okey. Kalian ngobrol dulu deh. Gue aja yang ke sana.” Dina pamit sambil membawa kertas yang akan difotokopi.
“Thanks ya, Din.” Senja melambaikan tangan ke arah Dina.
“Okey, Pel.” Dina meninggalkan mereka yang masih berdiri dekat gerbang. Alpa memandang Senja beberapa saat, disambut senyum lebarnya.
“Pel?” Alpa mengernyitkan dahinya.
“Maksudnya, Kak?”
“Dina manggil kamu Pel, kayak kependekan dari tompel dibandingkan singkatan dari Pelangi.”
“Dina itu nggak memanggil aku Pelangi, Kak. Dia itu memang memanggil aku Tompel.”
“Emang kamu punya tompel?”
“Punya dong, Kak, di ketek 'ni. mau lihat?”
“Seriusan?”
“Iya, Kak. Mau lihat? Eh, tapi jangan deh bulu keteknya panjang-panjang belum dicukur udah setahun. Udah gimbal juga karena udah lama belum dicuci. Tompel aku pasti nanti nggak akan kelihatan eksotis.”
“Idih alah, Mbak.” Senja mengernyitkan dahi saat Alpha menyematkan kata Mbak di kalimatnya.
“Mbak?”
“Jika boleh aku juga mau menggunakan kata itu, seperti keluarga kamu memanggil. Itupun jika boleh, Mbak.”
“Aku nggak keberatan, Kak. Jikapun nggak aku izinkan, Kakak sudah memanggil aku dengan kata itu.” Alpha tersenyum mendengarkan penjelasan Senja.