Azan magrib terdengar lima belas menit lalu dari Mushola AlBukhori. Beberapa motor masuk ke halaman parkir, nampak Cacing sedang sibuk merapikan posisi motor yang diparkir sembarang oleh pemiliknya. Kebanyakan dari mereka sudah menjadi pelanggan tetap cafe, jadi sudah percaya dengan keamanan parkir dengan membiarkan motornya tanpa kunci stang.
Alpha terlihat baru saja pulang salat magrib dari mushola, di kepalanya masih bertengger peci berwarna hitam.
“Lo udah salat, Bro?” ujar Alpha, lalu dijawab dengan gelengan kepala Cacing.
“Gantian ya, Men.” Dengan sigap Cacing memberikan tas kecil tempat uang parkir dikumpulkan, Alpha menerimanya dan langsung dikenakan di pinggangnya. Pemuda berbadan kekar itu melangkah ke arah mushola yang terletak di arah barat.
Jam 18.30, Alpha melihat jam yang ada di layar ponselnya. Biasanya saat malam Minggu seperti ini, banyak anak muda berpasangan dan keluarga-keluarga muda yang datang ke cafe. Entah mengapa malam ini agak sepi? Apakah mungkin karena gerimis yang turun menjelang magrib tadi?.
Cafe Marginalia adalah sebuah cafe yang lumayan terkenal, walaupun lokasinya tidak terletak di pinggir jalan utama, tempatnya malah sedikit bersembunyi, di ujung gang buntu. Selain menawarkan space buat nongkrong, cafe itu juga menyediakan pojok baca. Di sana berisi ribuan buku novel hasil karya penulis ternama indonesia, sastra-sastra lama sampai buku-buku terbitan terbaru Tere Liye, juga buku-buku terbarunya Risa Saraswati. Buku non fiksi pun ada, walau tidak sebanyak fiksi.
Customer bisa menghabiskan waktu lebih lama di cafe, terutama mereka yang hobi baca buku. Hanya pelanggan tetap saja yang boleh meminjam buku untuk dibawa pulang. Selain itu ada juga fasilitas free wifi, pelanggan yang hobi bermain game dengan gadget-nya, browsing menggunakan laptop mereka yang sengaja dibawa dari rumah.
“Halo, Al, sendirian aja.”
Sebuah suara perempuan mengalihkan Alpha dari layar ponselnya. Dia menoleh dan sebuah senyuman menyambutnya, ternyata suara itu milik Puput. Dia adalah tetangga kontrakannya, bisa dibilang seperti itu. Walaupun yang mengontrak itu adalah Alpha, sedangkan Puput tinggal di rumah besar di sebelah kontrakannya yang minimalis.
“Hallo, Om,” sapa seorang anak kecil berambut ikal pirang yang berdiri di samping Puput, berusia sekitar lima tahun. Dia menghampiri Alpha lalu memeluknya erat.
“Halo, Shasha.” Alpha berjongkok dan balas memeluk lalu menggendongnya.
“Kapan sampai dari Bandung, Teh?”
“Baru sampai rumah menjelang magrib tadi, Shasha minta langsung ketemu kamu.”
“Wah, kangen sama Om ya?” Alpha mencubit lembut pipi Shasha.
“Iya, Om.” Shasha balas mencubit pipi Alpha.
“Shasha sudah makan?”
“Belum, Om.”
“Makan dulu ya sama Mommy entar di dalam. Teteh udah makan belum, Teh?” Puput menggeleng menjawab pertanyaan Alpha.
“Belum, aku sengaja ke sini mau cari makan, sambil ngajak Shasha yang bawel pengen ketemu Omnya.”
“Aku mau makannya sama Om, Mom.”
“Okey, Sayang, tapi kamu pesan duluan ya, Om nunggu teman dulu. Dia salat magrib dulu, gantian jaga parkir.” Alpha menjelaskan.
“Ayo, Sayang,” Ajak Puput sambil menggamit tangan anaknya.
“Aku mau makannya sama Om aja, Mom.”
“Omnya 'kan nunggu gantian jaga dulu, Sayang.”
“Ya udah, Mommy duluan aja. Aku maunya makan sama Om.” Shasha melepaskan tangan ibunya dan meraih tangan Alpha.
“Teteh duluan aja, nggak apa-apa. Shasha nanti nyusul sama aku, sekalian minta tolong pesanin aku makan ya, Teh.”
“Oke deh, kamu mau makan apa, Al?”