Chapter 1: Bayangan di Balik Sungai
Fajar baru saja menyingsing di kota kecil bernama Seruni. Embun masih melapisi dedaunan, sementara aroma tanah basah menyergap udara. Sungai Tiris mengalir tenang, membelah kota ini menjadi dua. Namun, ketenangan itu pagi ini terpecah oleh sebuah jeritan nyaring.
Adit berdiri mematung di tepi sungai, napasnya tersengal-sengal, matanya membelalak. Di hadapannya tergeletak sesosok tubuh perempuan yang tak asing baginya. Santi. Sahabat masa kecilnya. Sosok yang dulu selalu ia lindungi, kini tergeletak tak bernyawa, dengan mata yang terbuka lebar, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa terucapkan.
Air sungai yang dingin membasahi ujung sepatu Adit, namun ia tak bergerak. Tubuhnya membeku, pikirannya dipenuhi teriakan-teriakan yang tak bisa ia keluarkan. Tangannya gemetar, ingin menyentuh tubuh Santi tetapi takut menyentuh kebenaran yang dingin dan kejam.
“Apa yang terjadi?” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Namun, ia tahu tidak ada jawaban yang akan memuaskan rasa sakit yang mulai menghimpit dadanya.
Langkah-langkah berat mendekat. Suara itu membawanya kembali ke realitas. Seorang pemancing tua, Pak Kusno, mendekat dengan wajah penuh tanya. Ketika pandangannya jatuh pada tubuh Santi, wajahnya langsung berubah pucat.
“Ya Tuhan, Adit... Apa yang terjadi di sini?”
Adit membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tubuhnya gemetar semakin hebat. Pak Kusno, dengan gerakan panik, mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi polisi.
---
Kota Seruni yang biasanya damai mendadak menjadi pusat perhatian. Dalam waktu kurang dari satu jam, area tepi sungai itu dipenuhi polisi, garis kuning, dan kerumunan penduduk yang saling berbisik. Di tengah keramaian, seorang pria berdiri dengan tenang. Tubuhnya tegap, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dialah Kepala Detektif Andi.
Andi mengamati tubuh Santi dengan tatapan tajam, seolah sedang membaca buku yang baru saja dibukanya. Wajahnya yang selalu terlihat tenang tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia berdiri di tepi sungai, mengenakan sarung tangan lateks, memeriksa luka di leher Santi yang tampaknya menjadi penyebab kematiannya. Sebuah luka memanjang, tajam dan bersih.
“Kita butuh laporan forensik segera,” ujar Andi kepada timnya. Suaranya tegas namun datar. Ia menoleh pada seorang polisi muda di sebelahnya. “Amankan area ini. Pastikan tidak ada yang menyentuh apa pun. Aku tidak mau ada bukti yang terkontaminasi.”
Polisi itu mengangguk cepat dan mulai menjalankan perintahnya.
Sementara itu, Adit duduk di tepi mobil polisi, dibalut selimut, wajahnya masih pucat. Tatapan matanya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan pijakan hidupnya. Detektif Andi mendekatinya dengan langkah pelan.
“Adit,” panggilnya. Suaranya rendah tetapi penuh wibawa. “Kau yang menemukan jasadnya?”
Adit mengangguk pelan, masih tanpa suara.
“Bisa kau ceritakan apa yang terjadi?”
Adit mencoba mengatur napasnya, tetapi setiap kata yang hendak keluar terasa menyesakkan tenggorokannya. “Aku... aku hanya berjalan-jalan pagi seperti biasa... lalu aku melihat dia...” Ia menunjuk ke arah tubuh Santi yang kini telah ditutupi kain putih. “Dia sudah seperti itu... Aku tidak tahu apa yang terjadi.”
Andi mengamati Adit dengan seksama. Matanya seperti ingin menembus lapisan pikiran terdalam Adit, mencari kebenaran yang tersembunyi. “Kapan terakhir kali kau bertemu Santi?”