Bayang yang Mengintai

Aqiel Hilmy Irawan
Chapter #2

Chapter: 2

Chapter 2: Jejak di Tepian Sungai


Malam itu, langit mendung menggantung rendah, menutupi bintang-bintang. Di sudut kota Seruni yang sunyi, lampu jalan berkedip pelan, seperti nafas lemah yang menunggu mati. Andi duduk di dalam mobilnya, rokok hampir habis di tangan. Di balik kaca depan yang mulai berkabut, matanya menatap jalan yang lengang dengan tatapan kosong, penuh pertimbangan.


Ia ingat percakapannya dengan Santi dua hari yang lalu. Di sebuah kafe kecil di dekat taman kota, mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan saling menghindar. Santi terlihat gelisah, tangannya terus memutar-mutar cangkir kopinya yang sudah dingin.


“Andi,” katanya dengan suara pelan. “Aku tahu kau tidak akan membiarkanku bicara, tapi ini bukan tentangmu. Ini tentang keadilan.”


Andi mendengar kata-kata itu berulang kali di dalam kepalanya, seperti rekaman rusak. "Keadilan." Sebuah kata yang terasa seperti ejekan di telinganya. Bagaimana seseorang seperti Santi bisa berbicara tentang keadilan, sementara ia sendiri telah melanggar batas?


---


Penyelidikan terus berjalan dengan tempo cepat. Tim forensik mengonfirmasi luka di leher Santi adalah hasil dari benda tajam. Namun, yang membuat Andi terdiam lebih lama adalah sebuah benda kecil yang ditemukan di saku jaket korban: sebuah kartu nama. Namanya tercetak di sana, lengkap dengan nomor telepon kantor polisi tempatnya bekerja.


“Pak, ini milik Anda?” tanya salah satu petugas sambil menyerahkan kartu itu dengan hati-hati.


Andi mengangguk kecil, tanpa menunjukkan keterkejutan. “Ya. Santi pernah meminta kartu itu untuk urusan pribadi beberapa bulan lalu.”


Petugas itu tampak puas dengan jawaban tersebut, tetapi Andi tahu ini bukan sekadar kebetulan. Kartu itu seperti pesan tersembunyi. Santi ingin dia tahu bahwa ini semua bukan akhir dari percakapan mereka.


---


Dian, yang sejak awal merasa ada kejanggalan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menemui Andi secara langsung. Saat sore mulai menua, ia mendatangi kantor polisi, menunggu di ruang tunggu yang dingin dengan perasaan campur aduk.


Ketika akhirnya Andi keluar dari ruangannya, ia terkejut melihat Dian berdiri di sana, matanya memerah karena menangis.


“Andi,” panggil Dian, suaranya serak. “Aku tahu ini bukan Adit. Aku tahu dia tidak bersalah.”


Andi berhenti sejenak, menatap Dian dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Dian, semua orang ingin melindungi orang yang mereka pedulikan. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.”


Dian menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. “Aku tidak hanya bicara soal perasaan, Andi. Ada sesuatu yang kau sembunyikan. Aku bisa merasakannya.”


Kalimat itu membuat Andi mengerutkan alis, tetapi hanya sejenak. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dian masuk ke ruangannya.


“Duduklah,” ujarnya singkat.


Dian menurut, meskipun hatinya berdegup kencang. Andi mengambil posisi di belakang meja, tangannya menyentuh tumpukan berkas di sana.


Lihat selengkapnya