Chapter 3: Bayang yang Mengintai
Malam turun perlahan di kota Seruni. Langit yang gelap menjadi cermin bagi aliran sungai yang dingin, tempat jasad Santi ditemukan. Dalam kegelapan itu, rasa kehilangan menyelimuti kota seperti kabut tebal, menyusup ke dalam hati setiap penduduknya. Namun, bagi beberapa orang, rasa kehilangan itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar duka—ia adalah bayangan penuh misteri yang mengintai dari balik senyuman dan kata-kata.
---
Adit berdiri di depan jendela kecil di selnya. Angin malam masuk melalui celah-celah jeruji, membawa aroma lembap dari hujan sore tadi. Ia mengusap wajahnya, mencoba memahami semua yang telah terjadi. Kenangan tentang malam kejadian itu terus berputar di kepalanya, seperti film lama yang tidak pernah selesai diputar.
Ia tidak bisa melupakan bayangan itu. Bayangan yang berdiri di kejauhan, tepat di seberang sungai, di balik rimbunnya pepohonan. Siapa itu? Mengapa ia merasa diawasi?
Adit memejamkan mata, berharap bisa mengingat lebih jelas, tetapi yang muncul hanyalah wajah Santi—dan darah. Begitu banyak darah. Ia menggertakkan giginya, mencoba menahan kemarahan yang mulai menggelegak di dadanya.
“Aku tidak bersalah,” gumamnya pelan. “Aku tahu ada seseorang yang ingin menjebakku. Tapi siapa?”
Di luar, langkah-langkah sepatu terdengar mendekat. Seorang sipir berdiri di depan selnya, menatapnya dengan tatapan datar.
“Ada pengunjung untukmu,” katanya singkat.
Adit menoleh cepat, alisnya berkerut. “Siapa?”
“Kau akan tahu sendiri.”
---
Dian duduk di ruang kunjungan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang disediakan oleh penjaga. Pikirannya dipenuhi dengan spekulasi dan ketakutan. Sejak malam kejadian, ia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sesuai dengan semua bukti yang ditunjukkan.
Ketika Adit masuk, Dian langsung berdiri, air mata menggenang di matanya. “Adit!”
Adit menatapnya dengan sorot mata yang penuh kelelahan. Namun, ketika melihat Dian, ada sedikit harapan yang muncul di wajahnya.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya, suaranya rendah tetapi tegas.
Dian mengangguk, meskipun ia tidak yakin pada dirinya sendiri. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana... tapi aku percaya padamu. Aku tahu kau tidak bersalah.”
Adit duduk di depannya, kedua tangannya terkepal di atas meja. “Dian, kau harus membantuku. Ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini. Aku... aku merasa ada seseorang yang dengan sengaja menjebakku.”