Chapter 4: Bayang yang Mengintai
Pukul tiga sore. Kafe kecil di sudut jalan Kota Seruni dipenuhi hiruk-pikuk pengunjung. Dian duduk di pojok ruangan, jauh dari pandangan utama. Ia menyesap kopi hitam yang mulai dingin, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, hatinya tetap gelisah.
Pintu kafe terbuka, suara bel kecil menggema. Seorang pria bertubuh tegap dengan jaket kulit cokelat masuk, matanya langsung mencari-cari seseorang. Damar. Dian mengangkat tangan, memberi isyarat.
"Dian," sapanya sambil menarik kursi dan duduk. "Kau terdengar sangat mendesak di pesanmu. Ada apa?"
Dian menatap Damar dengan sorot mata penuh kecemasan. "Ini tentang Santi… dan Andi."
Damar mengerutkan alis. "Andi? Detektif kepala yang menangani kasus Santi? Apa maksudmu?"
Dian membuka tasnya, mengeluarkan beberapa lembar foto dan catatan tangan. Ia mendorongnya ke arah Damar. "Aku yakin ada yang tidak beres. Santi sempat mengatakan sesuatu sebelum dia meninggal. Dia menyebut nama Andi, dan aku menemukan ini."
Damar mengambil foto itu. Salah satunya menunjukkan Santi di kafe bersama seorang pria berjaket kulit hitam. "Ini... Andi?" tanyanya sambil menunjuk pria dalam foto.
"Ya. Aku yakin itu dia," jawab Dian. "Aku butuh bantuanmu untuk menggali lebih dalam. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku merasa... Santi tahu sesuatu yang membuatnya terbunuh."
Damar terdiam sejenak, merenungkan informasi itu. "Aku akan coba mencari tahu. Tapi, Dian, kalau kau benar, kita menghadapi orang yang sangat berbahaya. Andi punya banyak koneksi. Dia bisa membuat kita menghilang tanpa jejak."
Dian menelan ludah, tapi ia mengangguk mantap. "Aku sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Aku tidak bisa mundur sekarang."
---
Malam itu, Damar bekerja di ruang kerjanya. Ia membuka laptopnya, mulai mencari informasi tentang Andi. Namanya terpampang di beberapa artikel berita, sebagian besar memuji karier cemerlangnya sebagai detektif. Namun, semakin dalam Damar menggali, semakin banyak kejanggalan yang ia temukan.
Beberapa kasus besar yang dipimpin Andi selalu berakhir dengan cepat, seolah-olah semua bukti muncul secara ajaib. Tidak ada satupun yang mempertanyakan hal itu, tetapi bagi Damar, ini adalah pola yang mencurigakan.
Ia mencatat detail-detail kecil, mencoba menyusun gambaran yang lebih besar. Dalam hati, ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang besar—dan berbahaya.
---
Sementara itu, Dian duduk di apartemennya, memandang keluar jendela. Hujan rintik-rintik membasahi kaca, menciptakan pola acak yang memantulkan lampu jalanan. Ia merasa diawasi, meskipun tidak ada siapa pun di sekitar.
Ia mendengar suara langkah kaki di lorong apartemen. Jantungnya berdegup kencang. Ia bangkit, mendekati pintu, dan mengintip melalui lubang intip. Tidak ada siapa-siapa.
Namun, saat ia berbalik, ia melihat sebuah amplop terselip di bawah pintu. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya. Tidak ada nama pengirim, hanya kertas kosong di dalamnya. Tapi sesuatu terasa janggal. Dian merasakan ada sesuatu di bawah kertas itu.
Ia meraba dan menemukan sebuah SIM card kecil.