Bayang yang Mengintai

Aqiel Hilmy Irawan
Chapter #5

Chapter: 5

Chapter 5: Labirin Tanpa Cahaya


Dian duduk di kursi belakang sebuah taksi tua yang mengeluarkan bunyi berderit setiap kali roda melintasi lubang jalan. Matanya menatap kosong ke jendela, mengamati bayangan kota yang perlahan tenggelam dalam kegelapan malam. Rasa takut menjalari setiap inci tubuhnya, tapi ia menahannya dengan erat. Di tangan kirinya, sebuah amplop kecil berisi SIM card yang baru saja ia salin dengan bantuan Damar. Amplop itu seperti bom waktu; menyimpan kebenaran yang bisa menghancurkan segalanya.


Sopir taksi meliriknya dari kaca spion. “Mbak, kita sudah hampir sampai,” katanya.


Dian mengangguk. “Ya, terima kasih.”


Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua di pinggiran kota. Gedung itu dulunya merupakan kantor pengacara terkenal, namun kini tampak seperti bayang-bayang masa jayanya. Dian turun, membayar ongkos taksi, dan berdiri sejenak di depan pintu gedung. Jantungnya berdegup keras saat ia mengetuk pintu kayu besar itu.


Pintu terbuka dengan suara berderit, menampilkan seorang pria paruh baya dengan rambut memutih dan garis wajah yang mencerminkan kelelahan hidup. Pria itu adalah Rendy Wijaya, mantan pengacara ternama yang kini memilih hidup menyepi setelah pensiun.


“Dian, aku sudah menunggumu,” kata Rendy sambil mempersilakan masuk.


Ruangan itu dipenuhi dengan aroma tembakau dan kertas tua. Dian duduk di sofa usang di ruang tamu kecil. Ia mengeluarkan amplop dari jaketnya dan menyerahkannya kepada Rendy.


“Aku membutuhkan bantuanmu,” kata Dian. Suaranya hampir berbisik. “Ini bukti... sesuatu yang mengerikan. Aku tidak tahu siapa lagi yang bisa aku percaya.”


Rendy membuka amplop itu dan mengeluarkan SIM card kecil. “Apa ini?”


“Rekaman suara Santi,” jawab Dian. “Dia berbicara tentang Andi… tentang bagaimana dia tahu sesuatu yang bisa menghancurkan hidupnya. Aku yakin ini alasan kenapa dia dibunuh.”


Rendy memasukkan SIM card itu ke laptop tuanya. Setelah beberapa detik, suara Santi terdengar memenuhi ruangan. Kata-katanya penuh dengan ketegangan dan kemarahan, setiap kalimat seperti palu yang menghantam kebenaran yang tersembunyi.


Rendy menutup laptopnya dan menatap Dian dengan mata tajam. “Kau tahu apa artinya ini, bukan?”


Dian mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendirian. Aku butuh kau untuk membantuku membawa ini ke publik… sebelum Andi menemukan aku dan menghentikanku.”


Rendy menghela napas panjang. “Aku sudah lama keluar dari dunia ini, Dian. Tapi aku juga tahu, kebenaran tidak bisa dibiarkan terkubur begitu saja. Kita harus bergerak cepat.”



---


Di tempat lain, Andi sedang duduk di ruang kerjanya yang remang-remang. Di meja kerjanya, layar laptop menampilkan rekaman kamera pengintai dari warnet tempat Dian dan Damar memutar SIM card itu. Ia memutar ulang video itu beberapa kali, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka.


“Dian… kau semakin berani,” gumam Andi.


Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Aku ingin kau menangkap perempuan itu malam ini. Jangan biarkan dia membawa sesuatu keluar dari kota ini.”


Suara di ujung telepon menjawab singkat, “Dimengerti.”

Lihat selengkapnya