Chapter 6: Jejak yang Hilang
Malam itu, dingin terasa menusuk tulang. Dian dan Radit berjalan melewati lorong sempit yang hanya diterangi oleh cahaya redup lampu jalan. Hujan masih turun dengan deras, membuat langkah mereka terasa berat. Setiap suara di kejauhan membuat Dian melirik ke belakang, meyakinkan dirinya bahwa mereka belum diikuti.
“Kita harus cepat,” kata Radit, suaranya tegas. “Aku kenal seseorang yang bisa membantu kita malam ini. Tempatnya tidak jauh dari sini.”
Dian mengangguk, meski rasa takut terus menyelimuti pikirannya. Ia tidak tahu siapa yang bisa dipercaya lagi. Namun, satu hal yang ia yakini adalah Radit adalah satu-satunya harapannya saat ini.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka tiba di sebuah rumah kecil di ujung jalan. Rumah itu terlihat lusuh, dengan cat yang mulai mengelupas dan halaman yang dipenuhi dedaunan basah. Radit mengetuk pintu tiga kali dengan pola tertentu, seperti memberi isyarat.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria muda dengan mata tajam. “Radit,” sapanya, lalu melirik Dian. “Ini yang kau bicarakan?”
“Ya, Kevin. Ini Dian,” jawab Radit. “Kita butuh tempat untuk bersembunyi sementara, dan aku butuh akses ke komputer yang aman.”
Kevin mengangguk, mempersilakan mereka masuk. Di dalam, ruangan itu terasa hangat meski tampak sederhana. Kevin menunjuk sebuah meja di sudut ruangan yang dipenuhi dengan peralatan komputer dan monitor. “Kau bisa gunakan itu.”
Radit segera bergerak, memasukkan SIM card ke salah satu slot di komputer. Dian duduk di kursi dekatnya, mencoba menenangkan dirinya.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Kevin sambil berdiri dengan tangan terlipat.
Radit menjelaskan singkat tentang bukti rekaman Santi dan keterlibatan Andi. Kevin mendengarkan dengan seksama, wajahnya semakin serius. “Kalau benar ini menyangkut Andi, maka kalian tidak punya banyak waktu. Dia punya koneksi yang luas. Aku yakin dia sudah tahu kalian ada di sini.”
Radit menoleh ke arah Dian. “Kita harus mengamankan file ini di beberapa tempat sekaligus. Jika sesuatu terjadi pada kita, setidaknya bukti ini masih bisa ditemukan.”
Dian mengangguk, meski hatinya terus berdebar. Ia merasa seperti tikus kecil yang dikepung oleh kucing besar.
---
Di sisi lain kota, Andi duduk di dalam mobil hitamnya, menatap layar tablet yang menampilkan peta dengan titik bergerak. Sebuah perangkat pelacak kecil telah berhasil ditempelkan di salah satu barang milik Dian saat dia meninggalkan kedai.
“Dia ada di sini,” gumamnya pelan sambil menunjuk titik itu.
Pria berbadan besar di sampingnya mengangguk. “Kita mau langsung ke sana?”
Andi mengangguk dengan senyum dingin. “Malam ini, kita selesaikan semuanya.”
---