Bayang yang Mengintai

Aqiel Hilmy Irawan
Chapter #7

Chapter: 7

Chapter 7: Langkah dalam bayangan


Di bawah bayang-bayang gedung tua yang memeluk malam, detak jantung Dian berdegup cepat seperti genderang perang. Radit masih menggenggam tangannya erat, membawa mereka menyusuri jalan kecil yang penuh lumpur. Napas mereka terdengar memburu, bersaing dengan suara hujan yang tak kunjung reda.


“Apa kita aman sekarang?” bisik Dian dengan nada ragu.


Radit menoleh, matanya menyapu sekeliling. “Untuk sekarang, ya. Tapi kita harus terus bergerak.”


Mereka berhenti di ujung gang, di mana lampu jalan berkelap-kelip seperti tanda bahaya. Di depan mereka terbentang jalan utama yang sunyi, tapi Dian tahu, keheningan itu bisa saja jebakan. Andi dan anak buahnya mungkin sudah menunggu di balik gelap.


“Radit, aku tidak tahu apakah kita bisa lolos dari ini,” ujar Dian, suaranya pecah oleh kelelahan dan ketakutan.


Radit menatapnya tajam. “Kita tidak punya pilihan. Kebenaran ada di tangan kita. Kau tahu ini lebih besar dari kita berdua.”


Dian terdiam. Ia tahu Radit benar. Namun, rasa bersalah atas kematian Santi dan tuduhan yang menjebak Adit membuatnya ingin menyerah. Ia merasa dirinya hanyalah bidak kecil dalam permainan besar yang tak ia pahami.


“Dengar,” lanjut Radit, “kita akan menuju ke rumah seseorang yang bisa membantu. Kau masih ingat Kevin? Dia tahu banyak tentang cara melindungi file ini.”


Dian mengangguk pelan. Kevin adalah teman lama Radit, seorang teknisi komputer yang pernah membantu mereka di masa lalu. Meski tidak sepenuhnya yakin, Dian merasa tidak ada pilihan lain. Mereka harus mencoba.



---


Di tempat lain, Andi duduk di kursinya dengan tenang. Layar laptop di depannya menampilkan gambar CCTV yang memperlihatkan Dian dan Radit berlari di sepanjang gang sempit. Senyumnya tipis, dingin, dan penuh perhitungan. Ia menyesap kopinya, menikmati momen seperti seorang pemburu yang sudah tahu ke mana buruannya akan lari.


“Kau yakin mereka akan menuju rumah itu?” tanya salah satu anak buahnya.


Andi menoleh perlahan, menatap pria itu dengan pandangan tajam. “Kevin adalah satu-satunya orang yang bisa mereka percayai saat ini. Tentu mereka akan ke sana. Aku tahu cara pikir Radit.”


Pria itu mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan?”


Andi meletakkan cangkir kopinya, menutup laptopnya, dan berdiri. “Kita akan mendahului mereka. Pastikan mereka tidak keluar dari tempat itu hidup-hidup.”



---


Dian dan Radit akhirnya tiba di depan rumah Kevin. Rumah itu kecil, dengan jendela yang tertutup rapat dan cahaya redup yang menerangi ruang tamu. Radit mengetuk pintu dengan pola tertentu—tiga ketukan cepat, dua ketukan lambat. Sesaat kemudian, pintu terbuka, dan Kevin berdiri di sana.


“Radit. Dian,” ucapnya singkat, lalu melirik ke belakang mereka. “Masuk cepat. Kita tidak punya banyak waktu.”


Lihat selengkapnya