Bayang yang Mengintai

Aqiel Hilmy Irawan
Chapter #8

Chapter: 8

Chapter 8: Jejak di Balik Hujan


Di luar rumah Lena, hujan masih mengguyur deras, menciptakan irama monoton yang hampir menenangkan. Tapi bagi Dian dan Radit, suara itu seperti hitungan waktu yang terus berjalan, mengingatkan mereka bahwa setiap detik adalah kesempatan bagi Andi untuk mendekati mereka.


“Apa yang ada di rumah di pinggir hutan itu, Tante?” tanya Dian, mencoba menutupi kegelisahannya.


Lena menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Rumah itu milik seorang teman lama. Dulu dia bekerja sebagai jurnalis investigasi. Ada banyak alat di sana yang bisa membantu kalian menyebarkan bukti ini tanpa jejak. Tapi dia sudah lama pergi, jadi kalian harus berhati-hati.”


“Jika tempat itu kosong, bukankah justru berbahaya?” Radit memotong. “Bagaimana jika Andi juga mengetahuinya?”


Lena tersenyum samar. “Andi mungkin cerdas, tapi dia bukan orang yang mengenal tempat itu sepertiku. Lagipula, hanya sedikit orang yang tahu tentang keberadaan rumah itu.”


Dian merasa ragu, tapi tidak ada waktu untuk meragukan lagi. File bukti yang mereka miliki terlalu berharga untuk disimpan tanpa tindakan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Baik. Kita akan pergi ke sana.”


Lena memberikan peta kecil yang digambar dengan tangan, menandai jalur menuju rumah tersebut. “Ikuti petunjuk ini. Jangan lewatkan tanda apa pun. Dan jika kalian merasa diawasi, jangan ragu untuk mengubah arah.”


Radit menggenggam peta itu erat. “Terima kasih, Tante. Kami akan berhati-hati.”




Hujan semakin deras saat mereka meninggalkan rumah Lena. Jalanan basah dan licin, membuat setiap langkah terasa lebih sulit. Dian memeluk tubuhnya, bukan karena dingin, tetapi karena rasa takut yang terus mengintai di balik pikirannya.


“Radit, kau pikir kita bisa selamat dari ini?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar di antara suara hujan.


Radit menoleh, matanya tajam tapi penuh keyakinan. “Aku tidak tahu, Dian. Tapi yang pasti, kita tidak bisa membiarkan Andi menang begitu saja.”


Mereka berjalan dalam diam, membiarkan kegelapan menyelimuti mereka. Di kejauhan, cahaya lampu mobil sesekali menerangi jalanan, membuat mereka semakin waspada.


“Kau ingat malam itu?” Dian tiba-tiba berkata, suaranya sedikit bergetar.


“Malam apa?”


“Malam saat kita terakhir bersama Santi.”


Radit berhenti, menatap Dian dengan ekspresi kosong. Ia mengangguk pelan. “Aku ingat. Santi… dia terlihat aneh malam itu, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.”


Dian menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Aku seharusnya lebih peka. Jika saja aku lebih peduli… mungkin dia masih hidup.”


“Jangan menyalahkan dirimu, Dian.” Radit menggenggam tangannya erat. “Ini bukan salahmu. Ini semua adalah kesalahan Andi.”


Dian mengangguk meski hatinya masih terasa berat. Mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan kecil yang semakin menanjak menuju pinggiran hutan.




Sementara itu, di tempat lain, Andi duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi dingin. Di hadapannya, layar monitor menampilkan peta digital yang menunjukkan pergerakan Dian dan Radit. Sebuah alat pelacak kecil yang ia tanam di tas Dian memberi tahu posisinya dengan akurat.


“Andi,” suara salah satu anak buahnya terdengar dari pintu. “Mereka menuju arah hutan.”


Andi tersenyum tipis, lalu berdiri. “Bagus. Mereka melakukan persis seperti yang kuduga.”

Lihat selengkapnya