Ardi duduk merenung di tepi tempat tidurnya, memandang kosong ke arah gitar yang tergantung di dinding. Alat musik itu, yang dulu menjadi teman setia baginya, kini terasa asing. Sudah berminggu-minggu ia tergantung menjadi pajangan di dinding kamar, sejak terakhir kali Ardi menyentuhnya. Suara dering telepon dari ruang tamu memecah kesunyian, tapi Ardi tidak bergerak. Ia tahu siapa yang menelepon, ayahnya. Sudah menjadi kebiasaan ayahnya jika tidak diangkat di handphone, ia akan menghubungi nomer rumah dan yang pasti akan menanyakan apakah Ardi bisa datang ke apartemennya akhir pekan ini. Tapi sayangnya untuk kali ini Ardi tidak punya energi untuk menjawab.
Dari balik pintu kamar, ia mendengar ibunya mengangkat telepon. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. "Ardi, ayahmu telepon," panggil ibunya. Ardi hanya menghela napas panjang, sebelum berjalan pelan ke ruang tamu menghampiri sang Ibu lebih tepatnya untuk mengangkat telepon dari sang ayah. Ia mengambil ganggang telepon dari tangan ibunya, sebelum sang Ibu meninggalkannya dengan muka yang datar dan kembali ke dapur tanpa sepatah kata pun.
"Sampai kapan, Bu? " Lirih suara Ardi dengan menatap nanar punggung sang Ibu.
"Ardi, nak, bagaimana kabarmu?" suara pria terdengar bersemangat, mengalihkan pandangannya tetapi di balik suaranya Ardi dapat merasakan kegelisahan yang tersembunyi.
"Baik," jawab Ardi singkat.
Ia tidak ingin berbicara panjang lebar karena setiap percakapan dengan sang ayah selalu berakhir dengan pertanyaan yang sama:
"Kapan kamu bisa datang ke sini?" atau "Apa kamu tidak rindu sama ayah?"