Bayang Yang Terbelah

Adi Kurniawan
Chapter #2

Dua Dunia Yang Berbeda #2

Ardi terbangun dengan perasaan berat. Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kamarnya, tapi cahaya itu tidak membawa kehangatan. Ia memandang jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan. Biasanya, ia sudah bangun lebih awal untuk sekolah, tapi hari ini ia sengaja memutuskan untuk membolos.

"Siapa juga yang akan peduli.. " Gumam Ardi sembari mengacak-acak rambutnya.

Dari luar kamar, Ardi mendengar suara ibunya sudah beraktivasi di dapur. Terdengar suara sendok yang berdenting di atas panci, sesaat setelahnya tercium aroma kopi yang menyengat, dan langkah kaki yang cepat. Ibunya selalu sibuk semenjak ayahnya pergi, entah memang sibuk atau sekedar menyibukkan diri, guna membunuh rasa sakit hatinya. Di satu sisi Ardi mengetahui bahwa itu adalah cara ibunya menghindari kesedihan, tapi di sisi lain merasa kasian jika ibunya harus merasakan kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.

"Ardi, bangun! Kamu harus sarapan!" teriak suara sang Ibu yang memekakkan telinga dari arah dapur.

Ardi pun hanya menghela napas dan perlahan bangkit dari tempat tidur. Ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek, lalu berjalan ke dapur. Meja makan sudah terisi dengan nasi goreng dan secangkir teh hangat. Ibunya berdiri di dekat kompor, wajahnya terlihat lelah tapi tetap tersenyum.

"Kamu kenapa? Kok keliatannya lemas? Gak sekolah?" Ucap sang Ibu yang memberondong putera semata wayangnya dengan pertanyaan tetapi dengan mata yang menatap penuh perhatian.

"Gak papa, Bu. Cuma kurang tidur aja, gak deh Bu males mau masuk sekolah" jawab Ardi dengan santainya seraya mengambil sendok makan, ia tidak ingin membebani sang Ibu dengan perasaan yang selama ini berkecamuk.

Ibunya mengangguk mengerti, tetapi Ardi bisa melihat keraguan dari sorot matanya. Sejak perceraian itu, ibunya selalu berusaha menjadi orang tua yang sempurna baik menjadi sosok Ayah maupun sosok Ibu, tapi Ardi tahu bahwa itu tidaklah mudah. Terkadang, ia merasa ibunya terlalu fokus padanya, seolah-olah Ardi adalah satu-satunya alasan ibunya untuk tetap bertahan sampai sejauh ini.

Setelah sarapan, Ardi kembali ke kamarnya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka laptop, tapi isi pikiran terus kembali memutar memori pertengkaran orang tuanya. Dengan menatap nanar langit-langit kamar, Ardi mengingat bagaimana sang ayah yang selalu berjanji akan membawanya jalan-jalan, tetapi sayang janji itu jarang terpenuhi. Ia pun juga mengingat bagaimana sang Ibu sering menangis di kamar sebelum mencoba menyembunyikan semburat kesedihannya dari Ardi.

Sedang melalang buana dengan kenangan-kenangan yang terputar, ia dikagetkan dengan bunyi handphone berdering. Ardi melihat layar, tertera nama "ayah" di layar handphonenya. Rasanya seperti ada pemberat di hatinya saat membaca nama yang tertera tetapi mau bagaimana pun tidak ada yang namanya bekas Ayah, dengan menghela napas ia pun mengangkat telepon tersebut.

Lihat selengkapnya