Malam ini Ardi duduk di tepi ranjang kasur, memandang kembali gitar tua yang masih bergeming tergantung di dinding kamar. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir ia menyentuhnya. Tangannya sekarang terasa gatal untuk kembali memetik senar, tapi hatinya terasa terlalu berat. Ardi mencoba mengingat kapan terakhir kali merasa bahagia dengan musiknya, tapi ingatan itu seperti kabur memudar, terusir oleh bayang-bayang pertengkaran kedua orang tuanya.
Dari luar kamar, ia samar mendengar suara Sang Ibu yang sedang berbicara di telepon. Suaranya terdengar tegang, dan Ardi pun dapat menebak siapa yang berada di ujung telepon tersebut—Sang Ayah. Pertengkaran mereka sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini terdengar lebih serius. Ardi mencoba untuk mengabaikan, tetapi suara Sang Ibu yang semakin tinggi membuatnya tidak bisa tenang.
"Kamu pikir ini mudah buatku? Ardi juga anakmu! Kamu tidak bisa terus mengabaikannya!" teriak Sang Ibu, dengan suara yang penuh emosi.
Ardi merasakan sesak dalam dadanya, sebenarnya ia tidak ingin lagi mendengar teriakan pertengkaran dari mereka, terlebih lagi ia tidak ingin menjadi alasan pertengkaran mereka. Dengan cepat, ia mengenakan jaket dan bergegas keluar rumah, berharap udara segar bisa membersihkan seraya menjernihkan isi pikirannya.
Ia berjalan tanpa tujuan, melewati jalan-jalan yang dulu sering ia lewati bersama Sang Ayah. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Toko-toko yang dulu ramai sekarang terlihat sepi, dan taman tempat ia sering bermain kini dipenuhi daun-daun kering. Ardi merasa seperti hidup di dunia yang asing, di mana tidak ada yang benar-benar ia kenal.
Tiba-tiba, handphonenya berdering. Lagi-lagi, Sang Ayah. Ardi menghela napas sebelum mengangkat telepon tersebut.
"Ardi, nak, ayah di depan rumah. Ayo, kita pergi makan malam," suara Sang Ayah terdengar bersemangat, tetapi Ardi dapat menangkap kegelisahan di balik suara Sang Ayah.
"Ayah, aku... aku lagi nggak enak badan," bohong Ardi, mencoba untuk menghindari konflik.