“Kenapa kita harus pindah ke sini, Ma?” aku bertanya kepada Mama ketika mobil kami memasuki gapura berhiaskan atribut serba merah putih.
Rumah-rumah di situ sudah memasang bendera di tiang bendera masing-masing, meskipun peringatan kemerdekaan masih beberapa hari lagi.
Mama tidak menjawab karena tahu bahwa sebenarnya aku telah tahu jawabannya dan aku menanyakan itu hanya sekadar untuk membuatnya kesal, sekaligus menunjukkan ketidaksetujuanku akan kepindahan ini. Mobil yang kami naiki berbelok memasuki halaman luas yang ternyata adalah halaman rumah kami, yang kebetulan juga bersebelahan dengan halaman tetangga tanpa dibatasi pagar. Di depan teras rumah tetangga aku bisa melihat seorang pemuda sedang mengelapi sepeda motor merah. Dia memandangi mobil kami, dan aku balas memandangnya dari dalam mobil. Mata kami bertemu. Dengan jelas aku melihat bibirnya tersenyum, tapi aku diam saja karena terlalu kaget menerima kenyataan bahwa wajah pemuda itu ternyata sangat tampan.
“Apa dia tetangga kita?” tanyaku kembali pada Mama.
“Sepertinya begitu,” jawab Mama tanpa menoleh. Dia lebih peduli dengan hal lain. “Mobil Bapak belum sampai, Pak Ridwan?” dia bertanya kepada supir kami yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja di rumah kami.
“Mungkin Bapak sedang keluar. Seharusnya sejak pagi sudah sampai,” jawab Pak Ridwan sambil memandang Mama dari spion.
“Semoga saja begitu. Seharusnya sekarang rumah sudah rapi,” kata Mama.
“Mestinya sudah, Bu. Bapak kan sudah bawa bala bantuan,” sahut Pak Ridwan sambil tersenyum.
Bala bantuan yang dimaksud adalah Yatmi dan Ridho, pembantu dan tukang kebun kami. Mama bukan tipe wanita yang senang merepotkan diri dengan hal-hal semacam ini. Ketika akhirnya Papa memutuskan membeli rumah baru ini, Mama dengan tegas menyatakan tidak akan membawa perabotan yang lama, kecuali beberapa yang masih kokoh dan bagus. Selain itu, Mama juga meminta ada dapur modern yang besar dilengkapi kompor dan oven gas. Aku tak mau kalah, aku juga minta kamar tidur sendiri, terpisah dari adikku, Dahlia, yang menurutku lebih sering menimbulkan gangguan daripada kebahagiaan. Umurnya baru 5 tahun, dan dia selalu ingin tahu urusanku. Sewaktu balita dia memang menggemaskan, tapi begitu menginjak usia 5 tahun, dia berubah menyebalkan. Singkatnya, sebagian besar barang-barang kami di rumah ini baru, dan rumah sudah dibereskan oleh Yatmi dan Ridho sebelum kami pindah. Jadi kami tak perlu repot lagi bersih-bersih.
Mobil kami akhirnya berhenti di depan teras yang atapnya memanjang hingga menaungi tempat mobil kami berhenti. Dengan bangga kukatakan bahwa kami adalah keluarga yang berkecukupan. Mamaku terlahir dari keluarga kaya, sedangkan papaku berasal dari keluarga kurang mampu. Tapi berkat kerja keras dan kecerdasan, Papa berhasil menjadi orang sukses dan menempati posisi tinggi di sebuah BUMN. Aku anak yang beruntung, tapi aku tak terlalu memikirkan hal itu. Papa selalu bilang aku harus berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, dan kurasa itu ada benarnya. Mungkin itu sebabnya dia selalu bermurah hati pada kakak dan adiknya, dengan mengirimkan uang bulanan secara rutin untuk mereka. Padahal mereka sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri. Kata Papa itu amanat Mbah Kakung dan Mbah Putri sebelum meninggal, karena di antara mereka bertiga, hanya Papa yang paling berhasil.
Aku melihat bagian depan rumah baruku yang terlihat keren. Aku senang rumah ini jauh lebih bagus daripada rumah yang lama. Aku dan Dahlia berlari memasuki rumah.
“Jangan lari-lari!” seru Mama, tapi kami terlalu bersemangat.
Aku sempat melihat pemuda yang sedang mengelap motor itu memandangi kami sambil terus tersenyum. Dia sempat mengangkat satu tangan untuk melambai, tapi aku tak membalas.
Keesokan harinya aku tahu bahwa pemuda itu memang tinggal di sebelah rumahku. Karena halaman samping rumah kami tidak dibatasi pagar, maka pintu dapur kami yang masing-masing berada di samping saling berhadapan. Jika kedua pintu dibuka, maka kami bisa melihat isi ruangan dapur masing-masing. Dari jendela dapur pun aku bisa melihat isi dapurnya, tapi sayang, seringkali tirai dapurnya ditutup. Setelah beberapa hari tinggal di rumah baru, aku bisa tahu bahwa keluarga tetanggaku ini kurang suka bersosialisasi. Beberapa kali Mama mengobrol dengan ibu pemilik rumah sebelah. Si ibu memang ramah tapi hanya sebatas menjaga kesopanan.
“Ibu sebelah senangnya di rumah. Katanya dia hobi merajut. Pantas saja dia betah di rumah terus, kalau Mama sih bisa pusing deh,” cerita Mama pada suatu hari. “Eh, Yu, anak dia yang bungsu kayaknya sepantaran kamu deh. Soalnya dia cerita baru naik kelas 2 SMP. Sama-sama perempuan. Cuma beda setahun.”
“Anaknya berapa, Ma?” tanyaku.
“Dua. Cowok yang waktu itu anak sulungnya. Katanya sudah kelas 3 SMA.”
Berikutnya aku tahu dia bernama Bisma, dan adiknya bernama Nirma. Ternyata, aku dan Nirma bersekolah di SMP yang sama, sehingga dalam waktu kurang dari sebulan kami sudah akrab. Berangkat sekolah bersama-sama dan kadang-kadang pulang juga bersama. Tanpa kusadari aku juga sering mendapati diriku berkunjung ke rumah Nirma, begitu pun sebaliknya. Setiap aku datang, Bisma jarang sekali kelihatan. Kalau dia ada, dia lebih sering mengurung diri di kamar, atau berada di teras rumah mengurus motornya. Dia hanya tersenyum saja kalau melihatku. Nirma pun tampaknya tak terlalu akrab dengan sang kakak. Aku pernah sekali waktu menanyakan soal kedekatan hubungan mereka, tapi jawaban Nirmasama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahuku.
“Memang kami enggak dekat. Aku enggak ngerti kesukaan Mas Bisma, dia juga enggak ngerti kesukaan aku,” jawab Nirma. Setelah itu aku enggan bertanya lagi.
Interaksiku dengan Bisma yang pertama terjadi di suatu malam. Saat itu sudah pukul 11 malam, aku baru saja selesai membaca novel Trio Detektif karangan Arden William yang berjudul Misteri Setan Menandak, dan perutku terasa lapar. Mungkin novel itu telah menyerap semua energiku. Seluruh penghuni di rumahku sepertinya sudah tidur, karena lampu-lampu di dalam rumah sudah dimatikan kecuali lampu kamarku dan lampu-lampu di luar rumah. Bahkan kamar-kamar Mbok Yatmi, Ridho dan Pak Ridwan yang berada di bagian belakang rumah pun tampak gelap dan sepi. Aku bisa melihatnya dari lorong dekat dapur yang juga gelap. Aku menyalakan lampu dapur, berniat membuat mi instan, satu-satunya makanan yang bisa kubuat. Biasanya aku minta tolong Mbok Yatmi, tapi karena kelihatannya dia sudah tidur kuputuskan untuk membuatnya sendiri.
Aku baru setengah jalan ketika kudengar ada suara berderit dari luar rumah. Bulu kudukku berdiri, aku masih terpengaruh novel yang baru kubaca. Kuintip dari jendela dapur, dan kulihat ada sosok laki-laki berdiri di depan pintu samping rumah Nirma. Laki-laki itu bisa melihatku tapi wajahnya gelap sehingga aku tak bisa mengenali siapa dirinya. Beberapa saat kemudian kulihat laki-laki itu mengeluarkan asap dari mulutnya, sepertinya sedang merokok. Aku menduga itu pasti Om Sapta, ayah Nirma. Aku menyelesaikan masakan mi instanku, lalu bersiap memakannya di meja makan ketika ada suara ketukan pelan di pintu dapurku. Bulu kudukku kembali meremang. Aku terpaku di tempat, dan tiba-tiba muncul wajah sumringah dari balik jendela dapur. Aku nyaris menjerit. Ternyata itu Bisma.
“Malam,” katanya begitu aku membukakan pintu.
Aku terbeliak tapi entah kenapa hatiku terasa riang. Kulihat di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok yang menyala.
“Bikin apa?” dia bertanya. Tiba-tiba aku merasa gugup.
“Eeh… mi instan,” jawabku. Mataku masih menatap rokoknya.
“Jangan bilang Nirma, ya,” ujarnya sambil mengisap rokok. Tampaknya dia tahu aku kaget melihatnya merokok.
Aku menggeleng.
“Mi instannya pakai telor enggak?” lagi-lagi Bisma bertanya.
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Enggak suka aja.”
“Pernah coba pakai kornet?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Aku lebih suka rasa aslinya.”
“Oh…” Bisma mengembuskan asap rokok sambil menolehkan kepalanya ke samping, agar asap tidak menyembur ke wajahku. Cara dia memalingkan wajah sangat keren menurutku, sehingga aku memandanginya nyaris tanpa berkedip. “Eh, silakan kalau mau makan. Sori aku jadi ganggu.”
“Kamu mau?” tanyaku sebelum dia beranjak pergi.
Bisma tampak terkejut, tapi sedetik kemudian dia terkekeh.
“Enggak. Aku cuma mau merokok sebentar. Aku ke sana, ya. Nanti asap rokokku mengganggu.”
“Aku sudah biasa. Papaku merokok,” kataku.
Bisma terdiam sebentar sambil memandangku, lalu mengisap rokoknya lagi.
“Kamu mau menemaniku ngobrol?” tanyanya kemudian.
Aku merasa mataku terlalu berbinar-binar.
“Di mana?” tanyaku.
“Kalau di atas bagaimana?” Bisma menunjuk tempat jemuran di atas rumahnya.
Beberapa menit kemudian kami sudah duduk di kursi plastik yang ada di bagian atas rumahnya, di antara tali-tali jemuran yang berderet. Aku masih ingat membawa mangkuk berisi mi panas dengan hati-hati sambil menaiki tangga besi melingkar untuk menuju ke sini. Hampir saja kuah mi instanku tumpah. Aku memandang berkeliling sambil menyeruput mi. Di rumahku juga ada tempat jemuran di lantai atas, hanya saja tidak ada kursi.
“Namamu Ayu, kan?” tanya Bisma sambil mengeluarkan rokok keduanya dari bungkusan.
Aku mengangguk sambil melirik bungkusan rokoknya, mereknya sama dengan merek rokok yang biasa diisap Papa. Rokok ringan.
“Nama panjangmu?” dia kembali bertanya.
Aku menunggu selesai menelan sebelum menjawab, tapi dia mengira aku keberatan menjawab.
“Kalau aku Bisma Karya Sapta.”
Aku hampir menyemburkan sebagian mi yang masih ada di mulutku.
“Kenapa? Lucu ya? Nah, sekarang giliranmu.”
Aku menggeleng. Sebuah pernyataan bahwa dia memang anak Om Sapta.
Bisma kembali mengisap rokok dan mengembuskan asapnya, dan aku kembali mengagumi wajahnya. Dari dekat dia begitu tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung meskipun tidak runcing, matanya besar berbulu mata tebal, bibirnya berisi, tulang rahangnya kokoh tapi tidak lebar. Dengan rambut gondrong setengkuk, dia kelihatan benar-benar seperti cowok urakan yang menawan, dan aku langsung jatuh hati padanya.
“Jangan menatapku terus. Ayo, jawab! Siapa nama lengkapmu!”
Aku nyaris tersedak karena kepergok.