Aku sudah memikirkan berbagai cara untuk membuat Papa berhenti minum, tapi sama sekali tak terpikirkan satu pun. Apalagi kulihat Papa tak pernah terlihat lagi duduk minum bir di ruang kerjanya. Mungkin rumah baru membuatnya mengganti kebiasaan. Meskipun hubungan kami dekat, tapi aku tetap tidak leluasa untuk menanyakan hal semacam itu pada Papa. Sehingga akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepada Mama.
“Ma, apa Papa sudah berhenti minum bir?” tanyaku di suatu siang.
Mama tampak sedang membalik-balik majalah wanita populer kesayangannya sambil duduk di sofa.
“Memangnya kenapa?” Mama balas bertanya.
“Cuma pengin tahu.”
Mama menaruh majalahnya dan menatapku.
“Kamu terganggu dengan kebiasaan Papa?”
“Memangnya Mama enggak?”
“Sini,” Mama mengulurkan tangannya dan menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhku sudah terlalu besar untuk muat dalam pelukannya. “Papa itu laki-laki, biarkan saja.”
“Maksudnya? Laki-laki boleh minum bir?”
“Maksud Mama, Papa kadang-kadang perlu melakukan hal-hal yang semacam itulah… seperti merokok, minum bir, dan hobi-hobi yang lain, selama itu tidak berlebihan, atau merugikan orang lain.”
“Kenapa?”
“Karena dia memang punya kesenangan sendiri, seperti Mama juga punya kesenangan sendiri.”
“Mama juga suka minum bir?”
“Kebetulan Mama tidak suka minum alkohol ataupun merokok, tapi Mama suka yang lain… seperti membaca novel, nonton film ke bioskop. Kamu tahu, kan, papamu nggak pernah keberatan soal itu.”
“Itu beda, Ma.”
“Yah, sekarang kamu belum mengerti. Tapi percayalah, papamu bukan pemabuk atau pemadat. Dia laki-laki bertanggung jawab yang sayang keluarga, sayang kamu, sayang Dahlia, sayang Mama.”
Mama memelukku erat-erat dan mencium ujung kepalaku.
“Uh, belum keramas berapa hari nih?” tanya Mama sambil mengernyitkan cuping hidungnya, lalu dia mengacak-acak rambutku.
Aku diam saja. Aku masih berusaha mencerna perkataan Mama yang sulit kumengerti.
“Tapi Papa harus berhenti minum, Ma!” kataku tegas.
Mama hanya menatapku dengan tatapan heran, lalu dia kembali mengacak-acak rambutku.
“Nanti dia juga berhenti sendiri,” katanya santai.
Sepertinya Mama tidak menganggap serius ucapanku. Entah kenapa hal itu membuatku sangat marah. Aku sendiri bingung dengan kemarahanku sediri.
Hingga suatu pagi aku menemukan beberapa kaleng bir kosong di meja dapur. Sepertinya Papa baru minum semalam, diam-diam, ketika kami semua sudah tidur. Tapi dia lupa membuang kaleng-kalengnya. Niat buruk memang akhirnya selalu ketahuan, pikirku. Aku duduk di ruang makan sambil mengamati kaleng-kaleng bir kosong. Otakku bekerja keras. Lalu tiba-tiba rasanya seperti ada yang merasukiku. Aku pun menegakkan badanku. Bohlam-bohlam lampu menyala di dalam kepalaku. Aku mengambil satu kaleng bir yang kosong itu dan menyembunyikannya di dalam kamarku.
Ö
Dahlia, biarpun masih 5 tahun, sudah memiliki kebiasaan buruk, yaitu meniru beberapa tindakanku. Seringkali aku memergokinya sedang mengacak-acak pakaianku karena dia ingin mencoba-coba bajuku, atau membuat meja belajarku berantakan karena ingin melihat-lihat koleksi novelku. Dia juga selalu ingin tahu makanan dan minuman apa yang kubawa, lalu mencicipinya, kalau bisa bahkan menghabiskannya tanpa sepengetahuanku. Dia senang kalau melihatku meradang gara-gara dia menghabiskan cokelat kesukaanku ataupun makanan dan minuman yang lain. Sesering apapun aku mengadukannya, jawaban Mama selalu sama: “Dia itu adikmu, sampai kapanpun dia akan mencontohmu. Jadi biarkan saja, dia masih kecil. Nanti juga berhenti sendiri.”
Sepulang sekolah, aku segera menjalankan rencanaku. Kaleng bir kosong yang tadi kusembunyikan segera kucuci, kuisi sedikit dengan air putih, dan kubawa ke kamarku. Setelah itu aku mengintip kamar Dahlia. Kulihat anak itu sedang bermain-main dengan bonekanya. Tampaknya dia belum sadar kalau aku sudah pulang. Maka aku pun membuat keributan dengan menyetel kaset di kamarku. Pancinganku berhasil. Dahlia segera berlari ke depan kamarku.
“Kak Ayu!” dia menyapa, sambil memasang tampang polos. Matanya mulai bergerilya memindai kamarku, kalau-kalau ada hal baru yang dia temukan. Kulihat matanya segera berdiri pada kaleng bir di meja belajarku.
“Kak, aku boleh tidur siang sama Kakak, enggak?” pintanya.
Aku sudah tahu gelagatnya. Adikku selalu begini kalau ada maunya.
“Kenapa? Kamu pasti mau minta minumanku, ya?” aku pura-pura menebak.
Dahlia terkikik malu, karena niat busuknya keburu ketahuan.
“Emangnya itu apa, Kak?” dia bertanya dengan hasrat yang sulit disembunyikan.
“Minuman orang gede.”
“Emangnya Kakak udah gede?”
“Udah dong! Nah, kalau kamu enggak ganggu Kakak siang ini, kamu boleh habiskan minuman Kakak.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
“Enggak bo’ong?”
“Enggak!”
Aku segera memberikan kaleng bir itu kepadanya. “Nih! Sana bawa ke kamarmu.”
Dengan riang Dahlia menerima pemberianku.
“Bilang apa?” tanyaku.
“Terima kasih, Kak Ayu!” Lalu dia pun ngeloyor keluar kamar.
Dari balik pintu kamarku, aku mengintip dia mulai menenggak kaleng bir berisi air putih itu dengan antusias. Kelihatannya anak itu tidak curiga sama sekali. Lalu segera kututup pintu kamarku dan kurebahkan tubuhku yang penat, sambil menunggu peristiwa selanjutnya.
Sampai selesai makan malam tidak terjadi peristiwa yang kunantikan. Kuperhatikan Mama beberapa kali melihatku dengan diam-diam, tapi langsung mengalihkan pandangan begitu aku membalas tatapannya. Namun dia tidak berkata apa-apa. Sikap Papa juga biasa saja, begitu pun Dahlia. Dia tampak sibuk sendiri berceloteh tentang mainan baru di sekolah, yang sama sekali tidak menarik minatku. Aku mendadak lunglai. Sia-sia saja aku menyusun rencana. Hasilnya benar-benar mengecewakan.
Aku pun kembali ke kamarku. Kunyalakan radio, mendengarkan lagu-lagu romantis sambil mereka ulang semua peristiwa kaleng bir. Aku menebak-nebak apa yang salah. Apa mungkin Dahlia langsung membuang kaleng tersebut ke tempat sampah tanpa ada yang melihat? Rasanya adikku belum punya kebiasaan terpuji seperti itu. Bungkus permen pun masih dia tinggalkan di kamar. Semuanya masih harus dibereskan Mbok Yatmi. Aha! Mbok Yatmi. Aku duduk tegak di tempat tidur. Pasti Mbok Yatmi yang menemukan kaleng itu, lalu diam-diam membuangnya agar Dahlia tidak terkena masalah. Pasti itu yang terjadi! Aku menggeram pelan. Oh, kenapa aku tidak memikirkan kemungkinan itu? Goblok! Aku memaki diriku sendiri.
Aku sedang merenungi kegagalanku ketika pintu kamarku diketuk dan dibuka. Dalam sekejap masuklan Mama, diikuti Papa.
“Ayu, Mama dan Papa mau bicara,” kata Mama dengan suara pelan tapi tegas.
Aku buru-buru mematikan radio. Mereka lalu duduk di tepi tempat tidur setelah menutup pintu. Tampaknya pembicaraan ini tak boleh didengarkan Dahlia. Lalu kulihat Mama menyodorkan kaleng bir yang tadi siang kuberikan pada Dahlia. Aku nyaris bersorak di dalam hati.
“Apa ini?” tanya Mama.
“Kaleng,” jawabku.
“Kaleng bir ini kamu dapat dari mana?” tanya Mama.
“Beli,” jawabku.
Mama menoleh ke arah Papa, yang kemudian menundukkan wajahnya.
“Kenapa bisa ada di kamar Dahlia?”
“Enggak tahu.”
“Kamu memberikan bir untuk Dahlia?” suara Mama mulai meninggi.
“Enggak, Ma. Pasti dia yang ambil dari kamarku. Mama, kan, tahu dia suka memberantaki kamarku dan mengambil barang-barangku.”
“Kata Dahlia kamu yang ngasih,” Papa menyela.
Dengan marah aku menatap Papa. Aku marah karena merasa Papa sudah bersikap hipokrit. Bukankah selama ini Papa yang membawa alkohol ke dalam rumah?
“Ngapain aku ngasih bir untuk Dahlia?! Aku juga tahu alkohol itu enggak bagus! Buar orang dewasa aja enggak bagus, apalagi buat anak kecil!”
“Enggak usah bentak-bentak orangtua!” tegur Mama.
Aku terdiam. Suasana sudah berubah jadi tidak mengenakkan. Mama tampak menelan ludah, berusaha mengatur emosinya.
“Kenapa kamu harus minum bir segala?” Mama kembali bertanya.
“Biar kayak Papa,” jawabku, seperti yang sudah kupersiapkan.