Bayangan

Miayazlin
Chapter #4

Bogor, 1990 Part 3

Aku sedang tenggelam dalam alur cerita novel Dari Jendela SMP karya Mira W yang baru dipinjamkan Wuri, ketika aku mendengar jeritan itu. Jeritan Tante Ayu yang sangat menjerikan hati. Aku hampir mengira sedang terjadi peristiwa kejahatan atau semacamnya. Bulu kudukku berdiri, dan tubuhku menegang. Kalau tidak salah itu hampir tengah malam, karena aku benar-benar tidak terpikir untuk melihat jam beker di meja belajarku. Jeritan itu terdengar memilukan sekaligus mengerikan. Aku baru berani keluar kamar setelah aku mendengar pintu kamar Papa dan Mama terbuka. Mereka bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Di luar ternyata sudah ramai. Beberapa tetangga yang tak jauh dari rumah kami berdatangan. Kulihat Tante Ayu sedang bersimpuh di jalan masuk rumahya. Dia menangis meraung-raung dengan suara seperti yang kudengar tadi, di belakangnya tampak Nirma berdiri memandangi ibunya sambil menangis sesenggukan. Sedangkan Om Sapta berjongkok di samping Tante Ayu, berusaha menenangkan istrinya. Begitu mendengar kami keluar, Nirma menengok. Mata kami bertatapan, lalu dia segera berpaling sambil menghapus air matanya yang terus-menerus mengucur. Beberapa orang mendekati Tante Ayu, sambil menanyakan keadaannya.

“Tidak ada apa-apa, ini hanya masalah keluarga.” Aku mendengar Om Sapta berkata. “Sudah, Ma, berhenti menangis. Tetangga jadi terganggu,” dia berkata lagi pada istrinya. Tapi Tante Ayu tidak menggubris, dia terus meraung-raung.

Aku hanya berdiri mematung di teras. Tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang semakin banyak yang berdatangan, dan kulihat Om Sapta mulai gusar. Dia berdiri sambil menarik tangan istrinya, tapi yang didapat malah penolakan.

“Aku mau Bisma! Mana Bisma?! Bismaaa!!!” terdengar Tante Ayu menjerit lagi.

Tangisan Nirma semakin menjadi-jadi, aku tak tega melihatnya, sehingga akhirnya aku menghampirinya.

“Nirma,” panggilku pelan. Nirma hanya menoleh sesaat ke arahku, lalu kembali berpaling sambil mengusap air mata dengan lengan piyamanya. “Ada apa?”

Nirma berusaha meredakan sedu-sedannya.

“Mas Bisma…” katanya setelah beberapa saat. “Dia pergi naik motor…”

“Ke mana?” tanyaku. Aku teringat ucapan Bisma tadi sore soal naik motor.

Nirma menggeleng.

“Kabur?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.

“Enggak tahu…” jawab Nirma lirih sambil tersedu-sedu, meskipun sudah lebih tenang.

“Si Bisma pergi, Pak?” Kudengar ada seorang bapak bertanya pada ayah Nirma.

“Paling dia cuma keliling-keliling. Nanti juga pulang, Bu.” Seseorang lagi berkata.

“Mana Bisma, Paa…” raung Tante Ayu.

Para tetangga hanya menatap Tante Ayu dengan prihatin dan iba tanpa tahu harus berbuat apa.

“Saya akan cari Bisma, Bu,” tiba-tiba kudengar suara Papa. Dia lalu masuk ke rumah lagi dan keluar sambil membawa kunci mobil, dan segera masuk ke garasi untuk menyalakan mesin mobil.

“Kami juga, Bu. Tunggu saja di rumah,” kata seseorang lagi. Lalu sejumlah bapak-bapak mengikuti tindakan Papa.

Setelah itu sejumlah ibu-ibu, termasuk Mama, ikut membujuk Tante Ayu untuk berdiri, tapi dia seperti terpaku di jalan, tidak bergerak sedikit pun. Kemudian dari kejauhan terdengar suara motor menderu-deru mendekati rumah kami.

“Itu Bisma!” seru seorang tetangga. Kami semua menoleh ke arah motor tersebut, dan terlihatlah sosok Bisma muncul dari kegelapan di atas motornya. Dia tampak seperti berandal jalanan di mataku.

Setelah itu semuanya terjadi dengan cepat seperti rekaman gambar bergerak. Kulihat Om Sapta berlari menghampirinya, dan belum sempat Bisma turun dari motor, ayahnya segera menarik leher bajunya dan meninjunya. Bisma terpelanting ke aspal, beberapa laki-laki langsung memegangi sang ayah agar tidak memukul lebih lanjut. Terdengar suara orang bicara saling bersahut-sahutan dengan nada tinggi dan penuh amarah.

“Aku cuma keliling kompleks, Pa!” Kudengar suara Bisma membela diri.

Lalu kembali terdengar jeritan bercampur tangis Tante Ayu. Nirma yang sudah mulai tenang di sampingku pun kembali menangis hebat.

“Nirma?” kataku, bingung melihat semua yang terjadi.

Tiba-tiba Mama sudah ada di hadapanku dan menggandengku.

“Kita masuk saja, Ayu,” ujarnya.

“Tapi Ma…” aku protes. Aku tak tega meninggalkan Nirma sendirian.

“Nirma mau ikut Ayu ke rumah?” Mamaku bertanya kepada Nirma, sepertinya dia bisa membaca pikiranku.

Nirma menggeleng, dan Mama langsung menarikku ke dalam rumah.

“Aku kepengin tahu ada apa, Ma,” aku masih protes.

“Nanti kita juga bakal tahu. Tapi sekarang jangan ikut campur. Itu urusan keluarga mereka.”

Mendadak malam itu aku kehilangan konsentrasi untuk meneruskan membaca novel. Adegan Bisma yang jatuh terpelanting karena dipukul ayahnya terjadi berulang-ulang di kepalaku. Kenapa ayahnya semarah itu? Kenapa ibunya sehisteris itu? Apa sebenarnya yang terjadi? Aku terus-menerus mengulang semua pertanyaan-pertanyaan itu sampai akhirnya aku jatuh tertidur.

Ö

Ada yang menakjubkan dari para  ibu-ibu. Mereka adalah makhluk serba bisa yang memiliki kemampuan untuk melakukan banyak hal. Pertama kali aku menyadari hal itu adalah pada keesokan harinya, di hari Minggu, ketika Mama ‘memaksaku’ menemaninya berkunjung ke rumah Bapak Ketua RT untuk menemui istrinya, tentu saja.

“Ngapain sih, Ma?” tanyaku.

Lihat selengkapnya