Bayangan

Miayazlin
Chapter #5

Bogor, 1990 Part 4

Malam itu aku kesulitan memejamkan mata. Rasa kantuk seperti menjauh. Segala hal tentang Bisma berkecamuk di dalam pikiranku. Aku hanya membalik-balik badan di tempat tidur. Sayup-sayup terdengar suara Mama dan Papa yang masih mengobrol di ruang tengah sambil menonton televisi. Akhirnya kuputuskan untuk keluar, tapi tiba-tiba aku tergoda untuk menguping pembicaraan mereka karena terdengar nama Tante Ayu dan Om Sapta disebut-sebut, sehingga kuputuskan untuk berdiri di ambang pintu.

“Bu Ayu itu memang gampang stres, Pa, padahal suaminya perhatian banget,” kata Mama. Dari tempatku berdiri bisa kulihat mereka sedang duduk di sofa yang arahnya membelakangi kamarku, sehingga mereka tidak tahu aku mendengarkan.

“Perhatian bagaimana?” tanya Papa.

“Papa nggak tahu kalau Pak Sapta sudah berhenti kerja?”

“Aku cuma tahu dia wiraswasta,” sahut Papa.

“Itu karena dia sudah berhenti kerja demi mengurus istrinya. Katanya sudah lama istrinya sakit-sakitan… enggak tahu sakit apa. Kayak disembunyikan penyakitnya. Makanya suaminya keluar kerja, bikin usaha sendiri, biar bisa lebih leluasa mengurus istrinya. Terus, sejak anaknya meninggal, keadaan istrinya makin parah. Yaaa, kayak kemarin itu, suka histeris. Rumah juga enggak keurus. Untungnya ada pembantu dan anak-anaknya sudah gede. Tapi kasihan tuh yang bungsu, masih butuh perhatian ibunya.”

“Memangnya Pak Sapta usaha apa?” Papa kembali bertanya.

“Katanya sih, jual-beli mesin, nggak tahu mesin apa. Jadi keluar rumahnya cuma kadang-kadang aja. Mungkin jadwalnya lebih fleksibel. Enggak kayak Papa.”

“Kenapa? Kamu kepengin aku keluar kerja?”

“Enggak lah.”

“Bu RT hebat juga ya, bisa tahu semuanya,” komentar Papa.

“Namanya juga ibu RT.”

“Bisa-bisanya kamu kepikiran buat nanya sama dia, padahal belum kenal, kan?”

“Makanya aku tadi sekalian sowan ke sana, Pa, sekalian kenalan dan cari informasi. Ayu juga kayaknya sudah akrab sama anaknya.”

Aku mendengar Papa tertawa kecil. “Perempuan bisa aja ya,” komentarnya.

Aku merengut, jadi itu rupanya tujuan Mama mengajakku ke rumah Bu RT.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Rumah Bisma masih tampak sepi. Aku berjalan melewati rumah itu tanpa menoleh lama-lama, lalu segera berbelok ke jalan. Setelah melangkah sejauh beberapa meter, aku mendengar suara kaki yang berlari-lari kecil di belakangku.

“Bay, tunggu!” kudengar Nirma berusaha menyusulku.

Aku pun berhenti menunggunya. Kulihat dia tersenyum melihatku.

“Sudah lama kita enggak ngobrol,” katanya.

Aku hanya tersenyum, lalu menunduk. Kami pun berjalan bersebelahan dengan diam. Suasana kikuk masih menyelimuti kami berdua.

“Aku minta maaf ya, Bay?” kata Nirma.

Aku menoleh. Kulihat wajah Nirma tampak bersungguh-sungguh. Mungkin peristiwa malam Minggu kemarin ada pengaruhnya. Aku sama sekali tak menduga dia akan meminta maaf, sehingga aku tak tahu harus bersikap bagaimana.

Melihatku diam Nirma menjadi salah tingkah.

“Aku sudah salah sangka. Aku tahu kamu enggak berteman denganku agar bisa mendekati Mas Bisma,” imbuhnya.

“Aku, kan, sudah bilang,” kataku pelan.

“Iya, aku tahu. Soalnya kamu langsung bilang enggak mau ketemu kakakku lagi, aku jadi merasa bersalah. Terus, kamu tahu-tahu menjauhiku.”

Aku mengernyit. Nirma meminta maaf tapi sepertinya dia masih menyalahkanku.

“Kamu beneran minta maaf?” tanyaku.

Nirma terkesiap. “Eh… iya, aku cuma enggak mau kamu marah sama aku. Kalau kamu memang suka sama Mas Bisma aku juga enggak apa-apa, kok.”

“Aku, kan, sudah bilang kalau Mas Bisma ketuaan buatku,” aku kembali berkilah.

“Tapi aku tahu kamu suka sama dia, Bay. Aku juga tahu Mas Bisma menyukaimu, aku bisa melihat dari sikap kalian berdua,” Nirma bersikeras.

Jantungku berdebar. Mana mungkin Bisma menyukaiku?

“Sebenarnya ada orang lain yang kusukai,” kataku berbohong.

“Oya, siapa?” Mata Nirma langsung berbinar.

Otakku berpikir cepat untuk mengarang sebuah nama. “Kakak kelas,” jawabku cepat.

“Jojo, ya?” tebak Nirma.

Aku mengernyit, tapi reaksiku dianggap sebagai pembenaran. Tapi karena tak bisa memikirkan nama lain, aku membiarkan Nirma berpikir demikian.

“Jangan bilang siapa-siapa, ya?” kataku, dan Nirma mengangguk. Matanya memancarkan kelegaan bercampur kegembiraan.

Aku menelan ludah, dan saat itu hubunganku dan Nirma membaik kembali.

Di sekolah, aku merenung di atas balkon depan kelasku yang berada di lantai 2. Aku memandangi ruang PMR yang ada di lantai dasar. Di depan pintu ruang PMR  berdirilah cowok bernama Jojo, anak kelas 3 sekaligus ketua PMR yang memang belakangan ini dipuja-puja teman-temanku, alias cewek-cewek kelas 1. Dia memang menjadi salah satu senior yang disukai cewek-cewek. Aku berusaha mencari sisi indah wajahnya. Jojo memang tidak jelek, malah sangat tampan sesungguhnya tapi aku tidak tertarik padanya. Mungkin karena aku sudah tertarik pada yang lain. Entahlah. Tapi setelah kupikir-pikir, rasanya aku bisa berpura-pura menyukai cowok itu agar Nirma percaya, agar hubungan kami tidak ada masalah.

Aku menghela napas. Tak pernah kusangka masalah hati akan begini rumitnya. Tiba-tiba cowok itu mendongakkan kepalanya dan memergokiku yang sedang mengamatinya. Saking kagetnya aku tak sempat berpaling, dan tanpa disangka-sangka Jojo tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyumnya.

Setelah mengetahui ‘kesukaanku’ pada Jojo, Nirma tak henti-hentinya mengajakku untuk bergabung dengan kelompok PMR di sekolah, karena dia adalah anggota di sana. Jujur saja kegiatan seperti ini bukanlah kegemaranku. Aku dan Wuri baru saja mendaftarkan diri untuk bergabung dengan kegiatan ekstra kurikuler Klub Buku yang sepi peminat. Klub ini memiliki anggota yang tidak sampai 10 orang, dan nyaris ditutup kalau saja ketuanya tidak berhasil memenangi lomba esai tingkat nasional. Setelah prestasinya itu, klub buku kami masih mendapat pembiayaan dari sekolah dan tetap bertahan sampai sekarang.

Meskipun akhirnya berhasil menolak ajakan Nirma, tapi dia terus melaporkan perkembangan Jojo dari hari ke hari. Lama-kelamaan aku menyesal sudah berbohong. Bahkan jika kebetulan kami sedang mengobrol di halaman rumah lalu ada Bisma lewat, dia langsung memperkeras suaranya dan mengganti topik pembicaraan menjadi Jojo. Seakan-akan dia ingin kakaknya tahu bahwa aku sedang naksir cowok lain. Aku jadi risih sekaligus kesal, tapi mau bagaimana lagi. Aku sendiri yang memulainya.

Suatu sore sepulang sekolah, aku memutuskan untuk bersepeda keliling kompleks karena ingin tahu lebih banyak suasana di sini. Aku merasa terlalu sering mengurung diri di rumah selama beberapa bulan setelah pindah ke sini. Lalu aku teringat kata-kata Sinta soal danau kecil dekat kompleks, maka aku pun memutuskan untuk mengayuh sepedaku ke sana.

Begitu keluar pagar lapangan voli aku sempat bertemu dengan beberapa warga kampung yang sedang lalu-lalang. Mereka tersenyum saat berpapasan denganku, dan aku pun membalas tersenyum.

“Mau ke mana, Dek?” tanya salah seorang dari mereka, seorang lelaki paruh baya berambut putih.

“Mau ke danau,” jawabku sambil memperlambat kayuhan sepedaku.

“Oh… ati-ati, ya. Jangan berenang di sana. Lumayan dalem airnya,” katanya lagi.

Aku mengangguk. “Duluan, Mang,” kataku. Tidak lama kemudian aku melewati jembatan pendek dari kayu yang kokoh, lalu tak jauh dari situ ada sebuah rumah unik yang berbentuk prisma seperti tenda. Atapnya langsung menyentuh tanah. Mungkin ini yang disebut Sinta sebagai vila segitiga. Vila itu kelilingi taman bunga, berpagar kayu bercat putih, pintunya berwarna merah dilengkapi pengetuk pintu logam keemasan. Aku sempat berhenti sebentar untuk mengagumi rumah itu. Sampai seseorang mengusikku.

“Jangan dilihat lama-lama, Neng,” ternyata pria berambut putih yang tadi menyapaku. “Nanti yang punya rumah marah.”

Lihat selengkapnya