Bayangan

Miayazlin
Chapter #6

Bogor, April 1991

Seminggu setelah Lebaran, sepupuku dari Semarang datang untuk berlibur di rumah kami. Namanya Eliya. Dia jauh lebih tua dariku, dan sudah lulus SMA tahun lalu. Dia baru saja diterima menjadi pramugari, dan sebelum mengikuti pelatihan dia memutuskan untuk menikmati liburan di Bogor. Eliya adalah anak kakak papaku. Dulu-dulu dia sering menginap di rumah kami saat liburan kenaikan kelas, dan tanpa sadar aku menjadikannya sebagai panutanku. Dia sangat cantik, menurutku. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya hitam dan lebat bergelombang sepanjang bahu, seakan-akan tidak pernah berantakan biarpun tertiup angin sekalipun. Setelah setahun tidak bertemu di mataku dia terlihat semakin cantik. Bentuk wajahnya oval sempurna dengan belahan di dagu, tulang pipinya tinggi, begitu pun tulang hidungnya, alis matanya lebat melengkung rapi secara alami, bulu matanya lentik dan matanya yang besar agak cekung ke dalam, mirip mata bintang film India kesukaan Mama.

Aku memandanginya tanpa berkedip ketika dia sudah berada di depan pintu kamarku.

“Kamu sudah tinggi sekali, Ayu!” komentarnya saat melihatku. Padahal tinggiku masih sealisnya.

“Mbak El,” kataku sambil memeluknya sekilas lalu membantunya menarik tali kopernya ke kamarku.

“Aku masih boleh tidur di kamarmu?” tanya Eliya sambil melihat sekeliling kamarku.

“Boleh, dong!” jawabku.

“Kamarmu lebih besar dari kamar yang dulu ya…” Lalu dia melihat ke arah Mama yang ada di belakangnya. “Rumah barunya keren, Tante. Lebih besar dari yang dulu, ya?”

Mama mengangguk. “Kamu boleh tidur sendiri di kamar tamu, lho. Kamar di depan, kan, memang buat orang yang menginap di sini. Mbok Yatmi sudah membersihkannya tadi pagi,” kata Mama.

“Aku tidur sama Ayu aja. Biar bisa cerita-cerita. Kecuali kalau Ayu ngusir aku, baru nanti aku pindah ke depan.”

“Masa diusir,” ujar Mama. “Ya, udah istirahat dulu sana. Naik kereta dari Semarang pasti capek.”

Mama lalu meninggalkan kami berdua di kamar.

“Eh, Ayu, kamu sudah mens belum?” tahu-tahu Eliya bertanya.

Aku mengangguk malu-malu.

“Kapan?” Eliya tampak antusias.

“Tahun lalu.”

“Waaa… berarti kamu sudah gede sekarang. Hayooo… udah naksir cowok belum?”

Wajahku langsung memerah.

“Enggak!” jawabku, dan Eliya pun tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku. “Mbak sendiri sudah punya pacar?” aku balas bertanya.

Eliya menggeleng kuat-kuat. “Aku enggak mau pacaran.”

“Kenapa?”

“Aku, kan, mau jadi pramugari.”

“Memangnya pramugari enggak boleh pacaran?”

“Boleh, sih. Tapi aku bakalan enggak ada waktu. Terus, tahu enggak? Setelah training di Jakarta katanya aku akan training lagi di Hongkong.”

Mataku semakin berbinar dan membesar. “Berarti Mbak bisa keliling dunia?”

Dia kembali mengangguk. “Itu cita-citaku, Yu. Kamu juga bisa nanti jadi pramugari.”

Lalu aku memerhatikannya membongkar koper.

“Mbak?”

“Hm?”

“Mulai sekarang jangan panggil aku Ayu, ya?”

Eliya menoleh. “Kenapa?”

“Tetangga sebelah namanya Ayu, tapi sudah ibu-ibu, aku enggak mau sama. Sekarang semua orang memanggilku Bay,” aku beralasan.

“Oh…! Ada-ada saja kamu, Yu!” dia terkekeh, seakan-akan permintaanku ini tidak berarti. “Ayu, kan, artinya cantik. Pas buat kamu.”

“Beneran, Mbak!” desakku.

“Iyaaa!”

“Jangan lupa, lho!” Aku pura-pura mengancam.

“Iya, Bay. Bay… Bay… Bay…” Eliya berlagak menghapal. “Tapi kenapa harus Bay? Kenapa bukan Yung? Lem? Citra?” Dia terus menggodaku.

“Ih, Mbak! Bay, kan, keren. Dalam bahasa Inggris artinya ‘teluk.’ Mbak tahu, enggak?”

“Tahuuu! Duh, kamu tambah gede tambah macam-macam, ya?!” Eliya pura-pura kesal. “Nih!” Dia melemparkan sebuah bungkusan kertas ke arahku.

“Apa, nih, Mbak?” tanyaku girang.

“Buka, dong!”

Aku bergegas membuka bungkusan itu, ternyata isinya kain batik tulis bergambar bunga-bunga kecil warna ungu dengan latar warna cokelat sogan.

“Bagus banget, Mbak!”

“Simpan baik-baik, ya? Aku yang menggambar lho, dibantu temanku.”

Tiba-tiba aku merasa terharu, sehingga aku pun memeluknya. “Makasih, Mbak!”

Eliya mengelus-elus rambutku dengan sayang. Mungkin itu terakhirnya kali aku merasakan segala yang kurasakan saat itu.

Keesokan harinya aku memperkenalkan Eliya kepada Nirma dan Bisma. Kurasa itu adalah salah satu penyesalan di masa remajaku. Sedetik setelah Bisma menatap Eliya, aku bisa merasakan percikan-percikan yang luar biasa di antara keduanya, bahkan Nirma pun merasakan hal itu. Tapi aku masih menolak memercayai penglihatanku. Aku pun tak mungkin menanyakan hal itu kepada Eliya, karena rasanya kurang pantas. Namun dalam waktu singkat aku terpaksa menerima kenyataan pahit.

Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu Eliya dan Bisma jadi sering menyelinap pergi berduaan, padahal Eliya belum seminggu menginap di rumah kami. Papa dan Mama tidak pernah melarang karena mereka berdua sudah dewasa dan tidak pergi jauh-jauh dari rumah. Lagipula sebelum pukul 9 malam Eliya pasti sudah pulang.

Suatu malam di malam Minggu, aku terbangun karena Eliya membangunkanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan kulihat dia duduk di tempat tidur sambil tersenyum.

“Sudah tidur, ya? Kupikir kamu belum nyenyak.”

Aku pun ikut duduk di tempat tidur. Kulihat dia membawa tas plastik berisi bungkusan, dan aroma nasi goreng menguar dari bungkusan itu.

“Nih,” katanya sambil menyodorkan bungkusan itu kepadaku.

“Apa ini?”

“Nasi goreng. Bisma yang beli.”

“Habis dari sana?”

Eliya mengangguk, wajahnya begitu cerah. Aku menerima bungkusan yang diberikannya. Bisa kurasakan nasi goreng itu sudah agak dingin, dan aku sama sekali tak berselera makan. Aku menaruh bungkusan itu di meja belajar.

“Sudah dingin, ya?” tanya Eliya. “Kupanaskan, ya?”

“Nggak usah, Mbak. Besok pagi aja kumakan. Enggak laper,” aku berkilah.

“Ya, udah, aku simpen di kulkas, ya?”

Aku mengangguk. Tingkah Eliya yang sangat bersemangat membuatku curiga. Aku kembali merebahkan diri di kasur ketika dia keluar kamar. Aku baru saja hendak memejamkan mata begitu dia kembali lagi ke dalam kamar.

“Kamu benar-benar ngantuk, ya?” tanya Eliya.

Aku mengangguk sambil menatap tembok. Dia lalu ikut berbaring di sampingku.

“Aku tadi habis dari rumah Bisma, Yu… eh Bay.”

Mataku seperti nanar, rasa kantuk perlahan-lahan menghilang.

“Dia ngajak aku makan nasi goreng di tempat jemuran…” Aku mendengar Eliya terkekeh pelan.

Aku kembali teringat saat aku makan mi instan. Mendengar tidak ada reaksi dariku, dia pun melanjutkan ceritanya. “Aku tahu mungkin kamu belum ngerti, tapi kayaknya… dia suka sama aku, Bay.”

Aku menelan ludah. Kantukku tiba-tiba pergi.

Lihat selengkapnya