Bayangan

Miayazlin
Chapter #7

Bogor, September 1991

Aku merasa hidupku begitu sunyi. Hidup tersunyi yang pernah dirasakan seorang remaja 14 tahun. Mungkin tanpa sadar aku ini pencinta drama kehidupan, drama queen, senang melebih-lebihkan segala peristiwa dalam hidupku. Termasuk ketika Bisma akhirnya meninggalkan rumah untuk kos di Bandung karena dia berhasil diterima di universitas negeri pilihannya jurusan arsitektur, sesuai dengan cita-citanya. Yang menyedihkan adalah aku tahu kabar itu dari Mbok Yatmi, hasil mengobrolnya dengan pembantu rumah Bisma. 

Sejak kepergian Eliya waktu itu, Bisma memang tidak pernah lagi datang ke rumahku. Aku seperti tidak eksis lagi dalam hidupnya. Mungkin aku hanya mengingatkannya pada Eliya, gadis yang tak bisa dia miliki. Atau mungkin dia memiliki alasan sendiri. Nirma juga tak lagi bergaul denganku, dia sudah memiliki teman-teman sendiri. Meskipun jika kami kebetulan berpapasan di jalan kami tetap saling tersenyum. Berbeda dengan Bisma yang memilih menunduk jika berpapasan denganku. Kami seperti orang asing. Aku pun enggan menyapa terlebih dulu. Jadi ketika akhirnya dia pergi aku merasa menyesal. Kalau saja aku tidak merasa gengsi mungkin kami bisa mengobrol lagi sebelum dia pergi ke Bandung.

Ketika akhirnya aku merasa tak sanggup lagi menanggung kerinduan sekaligus penyesalan, aku memutuskan untuk mengunjungi danau dekat kompleks dengan sepedaku. Danau itu juga tampak sepi. Sore ini tidak ada orang memancing. Hanya ada dua orang di atas rakit yang sedang mengarungi danau. Mereka tampak sedang membersihkan eceng gondok yang tumbuh sembarangan. Aku duduk di rerumputan di tepi danau. Sore ini sepertinya takkan ada pemandangan matahari terbenam karena cuaca mendung. Langit begitu kelabu. Aku memandangi gumpalan-gumpalan awan gelap di atas deretan pepohonan di seberang. Tidak ada burung-burung terbang seperti waktu itu. Entah berapa lama aku berada di sana sampai aku menggigil karena tiupan angin sore. Beberapa hari belakangan ini memang sering turun hujan, kecuali hari ini. Tapi melihat dari suasana langit, kurasa nanti malam hujan akan turun.

Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku, dan aku menoleh sambil berharap itu adalah langkah kaki seseorang yang kurindu. Ternyata itu Mang Asep. Kali ini dia berkopiah, lengkap dengan baju koko dan sarung. Tampaknya dia habis dari mushola.

“Sendirian, Neng?” sapanya.

“Iya,” jawabku sopan.

“Sepi ya sekarang nggak ada Bisma,” katanya.

Aku cuma tersenyum. Entah apa maksudnya mengatakan itu. Tanpa diundang, dia ikut duduk di sampingku.

“Boleh, ya, Mamang duduk di sini?”

Aku mengangguk. “Silakan, Mang.”

“Kamu tuh temen sekolahnya Bisma atau apa sih?” tanya Mang Asep ingin tahu.

“Saya tetangganya, Mang.”

Lihat selengkapnya