Bayangan

Miayazlin
Chapter #8

Bogor, Juni 1994

Aku selalu mengingat malam itu. Saat itu kemarau sedang panas-panasnya, bahkan di malam hari pun terasa panas, sehingga jendela kamar sengaja kubuka sedikit. Namun demikian tidak angin yang bertiup. Malam itu aku berniat menyelesaikan novel yang sedang kubaca karena masih dalam suasana liburan jadi aku tak perlu bangun pagi-pagi. Aku bisa mendengar suara TV di ruang tengah karena Papa dan Mama masih menonton. Lalu terdengarlah suara jeritan itu. Jeritan melengking yang memecah malam dan rasanya menusuk ulu hati. Aku sempat merinding karena semula aku mengira mendengar sesuatu yang bukan berasal dari duniawi. Aku buru-buru menutup jendela dan berlari ke ruang TV. Tapi suara itu tidak menghilang. Aku sempat merasa lega karena ternyata Papa dan Mama juga mendengar suara yang sama denganku, bahkan Mbok Yatmi ikut berlari menghampiri kami.

“Apa itu?” tanya Papa.

“Kayaknya dari luar,” jawab Mama.

Lalu terdengar kegaduhan di luar, sepertinya Ridho pergi keluar rumah untuk memeriksa keadaan. Kami pun menyusul pergi keluar. Dari pintu dapur rumah Nirma keluarlah si pembantu sambil berteriak-teriak histeris. Ternyata yang tadi kami dengar adalah suaranya.

“Bu Ayu… Bu Ayu…” si pembantu kini terbata-bata. Dia tak sanggup menyelesaikan kata-katanya, dan kemudian dia jatuh terkulai. Pingsan.

Selanjutnya yang kutahu adalah peristiwa tragedi yang sulit kupercaya. Tante Ayu mengiris nadi tangannya dan meninggal. Pembantunya menemukan jenazah Tante Ayu di tempat tidur dalam keadaan bersimbah darah. Kemudian beredarlah berbagai cerita tentang kematian tragis itu. Dalam waktu singkat keadaan di sekitar rumah kami menyerupai sirkus: ada tetangga, ada polisi, ada wartawan. Bahkan orang-orang yang kebetulan lewat pun ikut-ikutan berhenti karena ingin tahu.

Lalu Mama menyuruhku kembali ke rumah untuk menemani Dahlia, dan kemudian yang kutahu Mama mengajak Nirma masuk ke dalam rumahku. Kondisinya memprihatinkan, antara menangis dan terguncang. Dia sesenggukan tapi air matanya sudah kering.

“Kamu sama Bay di dalam, ya?” kata Mama. Nirma tidak menanggapi tapi dia berjalan ke arahku. Aku terkejut Mama menyebutku Bay, mungkin karena nama Ayu sensitif saat ini.

Aku memandangi Nirma yang terus melihat ke bawah, tatapannya kosong. Lalu tiba-tiba dia memelukku, dan sedu-sedannya semakin keras.

“Mama… Mama bunuh diri… Bay… Mama…” kata-katanya hilang ditelan tangis.

Tanpa kusadari air mataku ikut menetes. Kerongkonganku tercekat, dan aku segera teringat pada Bisma. Apakah dia sudah menerima kabar ini? Bagaimana reaksinya? Aku tahu dia sangat menyayangi ibunya. Aku memeluk Nirma erat-erat, tanpa sanggup mengeluarkan kata-kata yang bisa menghibur. Saat itu kebekuan kami selama ini pun mencair.

Ö

Selama beberapa hari Nirma tinggal di rumahku dan tidur di kamarku. Mama mewanti-wantiku agar tidak membiarkannya terlalu lama sendirian. Sementara ayahnya mengizinkan karena dia sendiri tampak linglung dan lebih banyak diam. Semua acara tahlilan diatur oleh para tetangga kompleks yang dikoordinasi oleh Pak RT, yaitu ayah Sinta, yang kurasa sudah ditahbiskan menjadi Ketua RT seumur hidup. Di hari ketiga tahlilan, muncullah Bisma. Dia sampai ke rumahnya menjelang Magrib. Kedatangannya membuat Om Sapta meradang. Sempat terjadi pertengkaran sengit di antara mereka, sampai beberapa orang, lagi-lagi, harus melerai mereka.

Nirma sempat menemui kakaknya setelah keributan itu dan berbincang selama beberapa lama, sebelum akhirnya kembali lagi ke rumahku. Aku sedang duduk di meja makan ketika Nirma masuk ke rumah lewat pintu dapur, lalu sepintas aku melihat Bisma ada di depan pintu dapur rumahnya. Jantungku pun langsung bergemuruh. Penampilannya agak berubah. Kini tubuhnya lebih berisi dan rambutnya dipotong pendek sehingga ikal rambutnya tidak terlihat. Tapi dia tetap tampan seperti dulu, dengan kaos berkerah dan celana jins.

Terdorong rasa rindu dan empati aku menghampirinya untuk menyampaikan rasa bela sungkawa.

“Mas Bisma!” panggilku, sambil berjalan menghampirinya. “Turut berduka cita ya, Mas.” Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

Bisma menatapku, lalu menjabat tanganku selama beberapa detik. Setelah itu dia mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya dan mengambil sebatang.

“Bay?” panggilnya sambil menyelipkan rokok ke bibirnya. “Ini kamu?” Seakan-akan dia tak peduli dengan ucapan bela sungkawaku.

“Iya?”

“Kamu sudah gede sekarang, ya?” Dia seperti sudah lupa bahwa kami telah lama tidak berjumpa, dan kurasa selama ini dia tak pernah memikirkanku.

Aku tersenyum. “Baru datang, Mas?”

“Kamu pasti tadi dengar tadi ada keributan.”

Bisma menyalakan rokoknya.

“Oh…” cuma itu yang keluar dari mulutku.

Aku berdiri canggung di hadapannya, hanya memandanginya merokok, sehingga akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah.

“Aku masuk dulu ya, Mas…”

“Tunggu!” katanya. Aku menahan langkahku. “Terima kasih ya, sudah menemani Nirma. Saat ini dia benar-benar butuh teman,” dia melanjutkan.

“Kayaknya dia lebih membutuhkan kakaknya,” kataku.

Bisma seperti terkejut mendengar ucapanku, dan aku langsung menyesal telah berkata begitu. Tapi ucapanku tidak bisa ditarik kembali. Wajahnya mengeruh. Kelihatan sekali kalau dia tersinggung gara-gara perkataanku. Lalu dia seperti sengaja mengembuskan asap rokok ke wajahku sehingga aku terbatuk-batuk. Dia tersenyum melihatku, sepertinya dia merasa puas.

“Sori,” katanya.

Aku tahu permintaan maafnya tidak tulus, dan aku tiba-tiba merasa kesal melihat sikapnya. Apa dia tidak sadar kalau ibunya baru saja bunuh diri? Aku pun segera berbalik dan masuk ke dapur. Di luar dugaan dia mengejarku, dan ketika aku akan menutup pintu dapur dia menahannya dan menyelipkan badannya sehingga pintu tetap terbuka.

“Jangan merokok di rumahku!” kataku setengah membentak.

“Oya?” ujarnya dengan nada mengejek.

Aku mengernyitkan dahi. Dia kembali mengembuskan asap rokok ke arahku.

“Apa-apaan sih?!” aku mulai kesal.

Aku menarik pintu lebih keras sehingga menjepit badannya. Dia meringis kesakitan. Tapi aku tetap menarik daun pintu dengan keras.

“Tolong lepasin, Bay… Sakit. Bay!”

“Kalau begitu pergi!”

“Oke.”

Aku pun melepaskan pintu, sehingga dia bisa terlepas dari himpitan. Lalu dia mengelus-elus dadanya. Tampaknya dia benar-benar kesakitan, sehingga aku merasa menyesal.

“Kamu tega juga ya, Bay,” ujarnya. “Aku cuma ingin ngobrol sama kamu,” katanya kemudian.

“Oya?”

Sungguh cara yang aneh untuk menunjukkan hal itu.

“Keluar sebentar, Bay. Aku ingin ngobrol. Sudah bertahun-tahun kita nggak ngobrol, kan?”

“Kamu seharusnya menemani ayahmu,” kataku.

“Memangnya kamu nggak dengar tadi kami bertengkar. Semua orang di dalam tahu. Aku jadi menyesal datang ke sini.”

“Apa kamu nggak mikirin Nirma? Dia terpukul banget waktu…” aku menghentikan kalimatku.

Kami diam. Bisma terus merokok, sementara aku berdiri di ambang pintu dapur. Beberapa pasang mata dari jendela dapur rumah Bisma terlihat mengamati kami. Mereka adalah ibu-ibu kompleks.

Lihat selengkapnya