Setahun kemudian, Nirma memberitahu bahwa ayahnya akan menikah lagi dan pindah ke Jakarta. Aku sangat sedih karena selama setahun itu hubunganku dengan Nirma berubah menjadi sangat baik, biarpun aku tetap menjaga diri agar tidak membicarakan kakaknya. Aku sempat berharap Bisma akan datang, tapi sampai di hari kepindahan cowok itu sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Rumah mereka pun dijual, dan berpindah tangan selama beberapa kali. Tapi orang-orang yang menempati rumah itu tak pernah bertahan lama. Konon mereka selalu diganggu penampakan makhluk halus, sehingga tidak ada yang betah, dan akhirnya rumah itu dibiarkan kosong tak terawat.
Dua tahun kemudian Papa akhirnya dipindahtugaskan ke Jakarta, sehingga rumahku pun dijual dan akhirnya kami pindah di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Aku sendiri akhirnya memutuskan untuk memilih kuliah di jurusan psikologi. Beberapa hari sebelum kepindahanku, aku berkunjung kembali ke danau dekat kompleks. Danau itu sudah dipenuhi eceng gondok, dan vila segitiga terlihat kosong. Aku juga tidak bertemu Mang Asep, sehingga aku hanya berjalan-jalan sebentar dan akhirnya memutuskan kembali pulang. Di tengah jalan aku bertemu dengan Sinta, anak Tante Tanti. Dia tampak girang melihatku.
“Bay, aku dengar kamu mau pindah, ya?”
Kurasa seisi kompleks sudah tahu soal itu.
“Iya.”
“Aku barusan ke rumahmu tapi kata mamamu kamu lagi pergi. Kebetulan ketemu di sini. Ke rumahku sebentar, yuk. Aku punya hadiah buat kamu.”
Aku menurut.
“Kok, repot-repot sih, Kak.”