Bayangan

Miayazlin
Chapter #11

Jakarta, Desember 2019 Part 2

Akhirnya sosok yang kutunggu datang juga. Aku masih mengingat wajah itu. Saat meneleponku kemarin kami hanya berbincang sebentar di telepon tanpa menggunakan video. Dia bilang sengaja ingin melihat diriku secara langsung saat kami bertemu. Sementara aku saat itu memang tidak siap kalau harus melakukan telepon video.

Dia tidak banyak berubah biarpun pengaruh usia tidak bisa dipungkiri. Tubuhnya tetap tinggi dan langsing, sedikit berotot dan terlihat ada tato menyembul dari balik kerah kemeja di bagian leher kirinya, aku tidak bisa menebak bentuk asli tatonya. Jantungku berdebar semakin kencang, dan aku merasa kembali menjadi bocah SMP seperti dulu, saat pertama kali melihatnya. Dia semakin mendekatiku, dan aku bisa mencium aroma parfum maskulin namun segar menguar dari tubuhnya. Aku jadi semakin salah tingkah.

“Bay!” Dia menghampiriku.

Aku segera berdiri dan mengulurkan tanganku.

“Mas Bisma!”

Kami pun saling berjabatan tangan. Remasan tangannya menghantarkan kehangatan yang semakin mempercepat aliran darahku. Dia terus menggenggam tanganku meski aku sudah melepaskan jabatan tanganku. Aku merasa dia mengamati setiap bagian kecil wajahku, mungkin sampai ke pori-pori.

“Kamu enggak banyak berubah,” kata Bisma, lalu dia pun melepaskan jabatan tangannya dan duduk di depanku.

Aku ikut duduk. Lalu dia pun memesan kopi ke meja kasir. Setelah itu, kami kembali saling bertatapan. Seakan-akan kami saling mencurahkan semua kerinduan tanpa kata-kata. Tapi akhirnya aku menunduk. Dia pun mengamati sekelilingnya.

“Eh, ini kafe suasananya enak juga. Kafe favoritmu?”

Aku mengangguk.

“Aku tadi sempat bingung. Jakarta banyak berubah. Untung aku sewa mobil dan supir dari hotel,” katanya seakan-akan geli pada dirinya sendiri.

“Berapa lama di Jakarta, Mas?” tanyaku untuk mencairkan suasana.

“Enggak lama. Itu sebabnya aku ingin bertemu kamu.”

“Oh…”

“Eh, sampai lupa tanya kabar. Apa kabar?”

“Baik.”

“Kabar Papa dan mamamu bagaimana? Mereka di mana sekarang?”

“Baik juga. Mereka ada di Jakarta juga.”

“Adikmu… siapa itu namanya… Mawar?”

“Dahlia. Dia baik, Mas. Sudah menikah juga.”

“Wah… Waktu cepat berlalu. Dulu, kan, dia masih kecil banget.” Bisma menggeleng-geleng sambil terkekeh.

 “Mas sendiri bagaimana?” aku balas bertanya.

“Baik juga… secara fisik.”

Aku menaikkan alisku. “Maksudnya?”

Dia terkekeh lagi, lalu menyeruput kopinya.

“Menurutmu, kalau ada laki-laki yang hampir berumur 50 tapi belum menikah, kira-kira kenapa?”

“Banyak hal, Mas,” jawabku. “Takut komitmen? Menghindari tanggung jawab?”

“Ah, aku lupa, dulu kamu kuliah psikologi, ya. Aku tahu dari Nirma.”

Jadi dia masih mengikuti perkembangan hidupku.

“Kalau cuma begitu sih enggak perlu kuliah, Mas. Semua orang juga tahu.”

“Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah?”

Aku mengangguk. Dia tahu jurusan kuliahku tapi tidak tahu kalau aku sudah menikah? Rasanya janggal.

“Punya anak?” dia bertanya lagi.

“Ada 2. Yang sulung 9 tahun, yang bungsu 7 tahun. Perempuan semua.”

Bisma bersiul. “Itu termasuk family goals gitu, ya? Kayak si Nirma juga anaknya 2, perempuan semua. Mereka cantik-cantik. Tapi awalnya mereka takut, karena lihat tatoku kayaknya.” Dia tertawa sendiri mengenang kejadian yang dia ceritakan.

“Itu tato apa sih?” tanyaku sambil menunjuk lehernya.

“Coba tebak!” perintahnya.

Aku mengedik.

“Tebak aja!”

“Apa ya…?” Aku pura-pura berpikir. “Naga?”

Dia menggeleng.

“Bunga?”

“Enggak dong!”

“Apa sih?”

“Aku akan menunjukkannya di kamar hotelku.”

“Apa?”

“Bercanda!” Dia tertawa geli. “Reaksi kamu kalau kaget masih kayak dulu. Makanya aku tato nama kamu di badanku, Bay.”

“Apa?”

Lihat selengkapnya