Malam itu aku kembali ke apartemen. Pertemuanku dengan Bisma seperti telah mengguncang pilar-pilar pertahanan diriku, sehingga membuatku tak bisa tidur. Aku kembali memikirkan pernikahanku, dan bodohnya, kata-kata Bisma sangat memengaruhiku. Lalu aku seperti tersadar. Seandainya aku memang mencintai suamiku, pasti aku tak tergoda untuk mempertimbangkan semua ucapannya. Apa mungkin benar pernikahan kami sedang goyah, atau mungkin itu pikiranku saja? Aku dan suamiku sudah 11 tahun menikah, dan aku mengenalnya 13 tahun lalu. Seperti juga pasangan pada umumnya, hubungan kami mengalami pasang-surut, namun semuanya indah. Meskipun sehari sebelum pernikahan aku sempat berkhayal seandainya waktu itu Bisma datang dan tiba-tiba mengajakku pergi. Aku tahu itu khayalan sinting, dan aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun, karena itu hanya khayalan seorang wanita yang menginginkan ada penuntasan di masa lalu. Konon itu biasa terjadi saat menjelang pernikahan. Seandainya saat itu Bisma benar-benar datang pun, aku tak mungkin pergi begitu saja. Namun sekarang aku merasa terombang-ambing.
Aku mengecek ponselku yang sejak tadi kumatikan. Ternyata ada beberapa telepon masuk dari suamiku dan pesan WA darinya: Kamu masih pulang ke apartemen? Anak-anak kangen. Aku juga.
Aku menghela napas. Ada sebersit rasa bersalah menyelusupi hatiku. Pertengkaran kami seminggu yang lalu, yang akhirnya berbuntut pada keputusanku untuk membenahi apartemenku. Pertengkaran yang selalu terpicu karena perbedaan persepsi terhadap suatu masalah, yang semuanya berawal dari keputusannya untuk keluar dari pekerjaan. Dulu aku mendukung, atau mungkin merasa mendukung, keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan yang mulai menggerogoti nuraninya di sebuah lembaga keuangan. Kemudian, seperti memperoleh pencerahan batin, dia memutuskan untuk mempelajari ilmu penyembuhan diri dan teknik pernapasan, hingga mendapatkan sertifikat resmi untuk mengajar. Akhirnya sejak 2 tahun lalu dia menjadi pelatih self healing, bekerja hanya berdasarkan permintaan, dan kadang-kadang harus keluar kota. Jika sedang banyak permintaan dia bisa jarang di rumah, bahkan berada di luar kota sampai beberapa minggu. Sebaliknya jika sedang sepi, dia bisa berminggu-minggu berada di rumah. Kupikir aku bisa menerimanya dengan mudah tapi ternyata ketidakpastian ini menggangguku. Kehadirannya yang tak pasti, terutama penghasilannya. Aku lebih suka keadaan kami seperti dulu, ketika semuanya bisa diatur dan lebih terkendali.
Lalu pertengkaran-pertengkaran mulai kerap terjadi, tanpa ada solusi. Sehingga aku merasa perlu membenahi apartemenku agar bisa kujadikan sebuah suaka. Aku butuh itu. Mama menganggap keputusanku aneh, seperti mengharapkan sebuah peristiwa buruk dalam pernikahanku, dan dia menyuruhku segera menjualnya kembali. Tapi aku bersikukuh mempertahankannya. Tempat ini kini adalah satu-satunya tempat aku merasa menjadi diriku sendiri, tanpa gangguan apapun atau siapapun.
Aku lupa jam berapa aku tertidur, tapi aku terbangun karena alarm ponselku sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 5.30, dan aku masih harus masuk kerja. Aku menyempatkan menelepon suamiku sebelum berangkat. Dia kedengarannya senang mendengar suaraku, tapi aku hanya menanyakan kabar anak-anak. Aku masih enggan bicara banyak kepadanya.
“Kamu masih ngambek?” dia bertanya sebelum aku menyudahi pembicaraan.
“Menurutmu?”
“Memangnya kamu ingin aku enggak terima kerjaan lagi?”
“Bukan begitu.”
“Terus?”
“Nanti kita bicarakan kalau aku pulang,” kataku, karena tahu pembicaraan ini akan berputar-putar di permasalahan yang sama.
“Kapan?”
“Secepatnya.”
Lalu telepon kumatikan.
Sesampainya di sekolah entah kenapa aku sempat tertegun memandangi beberapa murid yang sedang berdua-duaan. Mereka lalu membubarkan diri ketika melihatku datang.
“Selamat pagi, Bu,” kata mereka berbarengan.
“Selamat pagi,” jawabku. “Kalian enggak masuk?”
“Ini mau masuk, Bu,” jawab salah seorang dari mereka.
Lalu mereka pun berlari-lari kecil memasuki gedung sekolah. Di mataku aku melihat diriku yang dulu. Diriku yang masih remaja, yang mendambakan cinta yang tak terwujud dari seorang laki-laki. Aku tahu diriku yang remaja sering berkhayal tanpa akhir. Khayalan-khayalan itu baru berhenti bertahun-tahun kemudian, setelah aku mulai membuka hati pada laki-laki lain. Meskipun sesekali aku masih suka membayangkan setiap laki-laki yang ada di hadapanku menjelma menjadi Bisma.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Kupikir itu dari suamiku, tapi ternyata dari Bisma. Dia mengirimkan foto dengan caption: Maaf kalau kurang sopan. Just in case kamu nggak percaya…
Foto itu adalah swafoto Bisma yang bertelanjang dada di depan cermin, menunjukkan tubuhnya yang berotot, dengan tulisan ‘Lembayung’ terpampang dari dada kiri bagian atas dekat leher melintang ke sisi kanan perutnya. Aku menelan ludah. Jantungku berdebar tak keruan. Kurang ajar! Aku memaki dalam hati. Dia benar-benar membuat tato itu. Mataku perih, tangisku nyaris pecah. Lalu aku buru-buru masuk ke dalam gedung. Seharian itu pikiranku benar-benar kacau.
Ö