POV: Panca
Hujan turun deras sejak sore, menghantam jendela apartemen Panca dengan ritme yang tak beraturan. Di dalam kamar yang remang dan berantakan, Panca meringkuk di balik selimut tipis, matanya menatap kosong ke langit-langit.
Tidurnya gelisah malam itu.
Dan ketika akhirnya ia terlelap…
...Ia berada di lorong panjang, temaram, bercat putih pudar.
Lorong itu familiar, tapi Panca tak tahu dari mana. Bau logam menyengat hidungnya bau darah. Di kejauhan terdengar suara rintihan... atau isak tangis. Dinding lorong dipenuhi coretan tangan kecil, merah, seperti dilukis dengan darah segar.
Satu-satu langkah ia ambil, telapak kakinya menyentuh lantai basah dan licin. Suaranya menggema.
Dan di ujung lorong itu sesosok tubuh anak perempuan, duduk memeluk lutut. Rambutnya panjang, acak-acakan, dan seluruh bajunya basah oleh darah.
Panca mendekat perlahan.
Gadis itu menoleh.
Wajahnya... adalah wajah Panca sendiri.
Namun sorot matanya bukan miliknya. Mata itu dingin, kosong, dan... menikmati sesuatu.
Seketika gadis itu tersenyum. Dan ketika membuka mulutnya, yang keluar hanyalah bisikan:
“Aku bukan kamu.”
Panca terbangun dengan jeritan tertahan.
Ia terduduk, napas terengah-engah. Dahinya basah oleh keringat, tangannya gemetar hebat. Hujan masih mengguyur luar sana, dan kilat sesekali menyambar, menerangi ruangan dengan cahaya dingin.