POV: Tama
Hujan kembali turun malam itu, gerimis kecil yang memantulkan bayangan lampu jalan di aspal hitam. Tama menyalakan senter kecil di ponselnya saat menuruni tangga beton yang mengarah ke lorong belakang kawasan Taman Anyelir TKP terbaru.
Ia tidak datang sebagai polisi. Ia datang sebagai orang yang tak bisa melepaskan masa lalu.
Sebagai seseorang yang percaya bahwa satu kebenaran belum terungkap.
Garis polisi sudah tak ada. TKP secara resmi telah ditutup setelah penyisiran tiga hari lalu. Tapi bagi Tama, tempat ini bukan hanya lokasi kejahatan. Ini adalah panggilan yang belum selesai.
Saat senter menyorot dinding bata yang lembap dan retak, ia melihat bekas kapur garis tubuh yang mulai pudar. Di sampingnya, bunga anyelir putih yang layu…
Sama seperti yang ditinggalkan lima belas tahun lalu.
"Mustahil ini cuma kebetulan," gumamnya pelan.
Ia mendekat. Bekas darah sudah dibersihkan, tapi ada jejak samar di lantai seperti noda yang tak mau hilang.
Dan saat ia menoleh ke kanan, ke arah gang sempit di sisi bangunan
Ia melihat seseorang berdiri diam di ujung lorong.
Seorang perempuan. Rambut hitam panjang, jaket putih, tubuh kaku seperti patung.
Panca?