POV: Panca
Panca menatap bercak samar di kerah blazernya sebuah noda merah yang terlalu kental untuk disebut tinta, tapi terlalu kabur untuk diklaim darah. Ia sudah mencucinya, menyekanya berkali-kali, tapi entah mengapa... warna itu selalu kembali, seolah tumbuh dari dalam kain. Atau dari dalam dirinya?
Setelah kejadian aneh di lokasi pembunuhan itu yang tidak bisa ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri Panca tahu satu hal: ia membutuhkan bantuan profesional. Atau setidaknya, seseorang yang bisa memberitahunya bahwa ia belum gila.
Dan itulah alasan ia kini duduk di ruang tunggu beraroma antiseptik lembut, di dalam klinik privat bernuansa putih tulang dengan ornamen kayu hangat. Ironis. Sebersih apapun tempat ini, tetap tak mampu menghapus suara-suara yang berbisik dari balik pikirannya.
“Panca Ayuningtyas?” panggil suster berseragam abu-abu muda.
Ia berdiri. Langkahnya terasa ringan… atau mati rasa?
Ruang terapi milik Dr. Genta Arifin tidak seperti bayangan Panca.
Tidak ada sofa kulit hitam atau rak buku berdebu penuh teori psikologi. Sebaliknya, ruangan itu bersih, tenang, dengan lukisan abstrak di dinding. Cahaya lampu tidak terlalu terang, tapi juga tak remang. Terlalu sempurna. Terlalu... terencana.
“Selamat datang kembali, Panca,” sapa Dr. Genta. Pria berusia akhir 40-an itu menatapnya dengan sorot tenang yang entah menenangkan... atau mematikan.
“Terima kasih, Dok.”
Ia duduk. Tubuhnya menegak, tapi pikirannya mengawang.
“Masih mengalami mimpi buruk?” tanya Dr. Genta, membuka buku catatan kulit.
Panca mengangguk pelan. “Tapi sekarang… aku nggak tahu mana yang mimpi, mana yang nyata.”
“Hm.” Dr. Genta menyilangkan kaki. “Tanda bahwa ingatanmu mulai mencari jalannya keluar. Luka-luka lama seperti itu… tak bisa dikubur selamanya.”
“Aku... pernah berdiri di lokasi pembunuhan baru itu, Dok. Tapi aku... nggak ingat bagaimana bisa sampai di sana.” Suaranya gemetar. “Dan ada darah di bajuku.”
Dr. Genta tidak terkejut. Matanya menatap sejenak, lalu menulis sesuatu. “Kamu sedang mengulang pola. Tubuhmu ingat, meski pikiranmu belum.”
Panca menelan ludah. “Apakah aku… pelakunya?”
“Bukan,” jawab Dr. Genta cepat. Terlalu cepat. “Kamu adalah perwujudan luka yang tidak selesai. Mungkin... kamu perlu menerima bayangan masa lalumu. Jangan lawan dia. Biarkan dia bicara.”