POV: Panca
Panca terbangun dengan teriakan yang tertahan di tenggorokannya.
Napasnya memburu. Tubuhnya gemetar. Cahaya remang dari lampu jalan menyusup masuk lewat jendela berjeruji. Ia tak mengenali tempat ini. Bau karat dan amis menyengat. Lantai beton dingin. Langit-langit menggantung kabel terkelupas.
Dan darah.
Banyak darah.
Tangannya—berlumuran darah segar. Merahnya seperti belum mengering. Seolah baru terjadi.
Ia bangkit dengan langkah sempoyongan, mencari pintu, jendela, apa pun. Tapi kemudian matanya tertumbuk pada sesuatu di tengah ruangan.
Seseorang tergeletak di sana.
Rambut panjang. Baju merah. Tubuhnya terpelintir seperti patah. Mata yang terbuka tanpa nyawa.
Saras.
1. “Apa yang telah aku lakukan…?”
Panca terduduk. Dunia berputar. Guncangan hebat di dadanya. Air mata tak keluar, tapi teriakan di benaknya memekakkan.
“Bukan aku. Aku tak mungkin melakukan ini. Aku tidak di sini tadi malam. Aku bahkan tidak ingat datang ke sini…”
Ia menyentuh wajah Saras. Masih hangat. Ada luka tusuk di perutnya. Dalam. Presisi.