Hujan turun deras malam itu, menciptakan irama kacau di atas genting rumah tua yang hampir rubuh. Alia duduk di tepi ranjang kayu, tubuhnya menggigil meskipun api dari perapian di ruang tengah masih menyala. Angin yang masuk melalui celah jendela membawa aroma tanah basah, bercampur dengan bau kayu lapuk dari dinding rumah.
Matanya tertuju pada sudut ruangan yang gelap, lebih gelap dari yang seharusnya. Sudut itu seolah menyerap cahaya, membuat malam terasa lebih pekat. Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menggerayangi pikirannya.
Namun, ketika ia memalingkan pandangan, sesuatu bergerak. Cepat, seperti bayangan yang hidup. Alia terdiam, napasnya tertahan.
"Siapa di sana?" suaranya bergetar, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh hujan.
Tidak ada jawaban, hanya sunyi. Tapi ia tahu ada yang memperhatikannya. Ia merasakan itu di tengkuknya, seperti hembusan udara dingin yang terlalu dekat.
Lalu, ia mendengar suara pelan, nyaris seperti bisikan.
_"Alia..."_
Namanya bergema di ruang kosong itu. Mata Alia membelalak, tangannya gemetar memegang sisi ranjang. Ia ingin lari, tetapi kakinya terasa tertanam di lantai. Bayangan di sudut itu bergerak lagi, kali ini mendekat, membentuk sesuatu yang hampir menyerupai manusia—tetapi tidak sepenuhnya.