"Just be calm, if you want to solve the problem."
×××××
Pagi yang cerah menyapa Daru dengan riang, hembusan semilir angin yang sejuk membuat suasana semakin damai dan nyaman. Daru yang masih memejamkan matanya menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya yang besar mengerjap, menyesuaikan bias cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela nya.
"Selamat pagi," bisik Dru datar sambil beringsut duduk di tempat tidurnya. Matanya menjelajah isi kamarnya yang berantakan, ia menghirup udara di sekitarnya rakus, lalu menghembuskannya dengan kesal. Pikirannya bingung, bagaimana cara membereskan semua alat lukisnya, ini sangat kotor. Aksa berangsur turun dari ranjangnya dan mulai membersihkan kamarnya yang terlihat suram dan tidak bernyawa.
Entah kenapa hari ini rasanya sangat ringan bagi lelaki tersebut, jiwanya tentram tanpa ada gangguan sedikitpun, bahkan mimpinnya pun terasa indah. Kali ini Daru menyibak tirai jendela, dan membuka jendelanya serta membersihkan area balkon yang berdebu. Kali ini kamar Daru begitu terang dan hangat, tidak dingin seperti hari-hari yang lalu.
"Kemana aja aku, sampai nggak tau kalau pemandangan balkon rumah, cantik banget," ujar Daru sambil terkekeh pelan. Yah, hari ini Daru memang masih di rumah, walaupun dirinya merasa tenang, tapi jiwanya masih sedikit paranoid. Nayaka memaklumi itu, ia berpikir. Mungkin itu hanya hormon remaja yang sedang masa pubertas nya.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aksa sudah menyelesaikan acara bersih-bersih kamarnya, kakinya menyeretnya untuk duduk di balkon kamar. Menikmati udara pagi serta semilir angin yang sejuk. Bau tanah masih terasa menyengat di indera penciuman Daru, mungkin karena semalam hujan deras, jadi bau tanah bercampur air hujan sangat terasa kental.
"Widih, dah asik banget duduk-duduk santuy," celetuk Nayaka di depan pintu kamar Adiknya. Daru menoleh, sambil menyunggingkan senyum lebar andalannya. Nayaka yang disambut hangat pun, ikut tersenyum lega dan senang. "Sini kak," titah Daru, dan Nayaka mengangguk mantap sambil berjalan menuju ke bangku yang ada di balkon.
"Nih," ujar Nayaka sambil menyodorkan segelas susu hangat. Daru tersenyum hangat sambil berucap terima kasih dan diangguki oleh Nayaka. "Tumben banget nih kamu bersihin kamar, kesambet apa?" celetuk Nayaka lembut seraya menatap sekelilingnya.
"Nggak tau juga kak, lagi pengen aja. Hari ini bawaannya nyaman," ujar Daru ringan, seraya menghirup udara dengan tenang. Nayaka mengangguk paham lalu matanya menerawang ke atas. "Ru, jujur ya kakak kadang capek sama hidup kakak." Daru menoleh ke arah Nayaka, sambil mengangkat sebelah alisnya sebagai kode bertanya 'kenapa?' Nayaka menghela nafasnya lelah tapi tak urung ia tetap tersenyum, "semua kehidupan kakak terasa sangat ditekan sama Ayah Ibu, Ru. Kakak nggak bisa gini terus, semua fasilitas bahkan pergerakan Kakak dibatasi," terang Nayaka, dia sendiri sadar, seharusnya ia tak mengeluh pada adiknya yang kehidupannya lebih berantakan darinya. Namun Nayaka juga tidak bisa memendam rasa mengganjal ini sendirian, ia hanya punya Daru—Sang adik istimewanya— andai Ibu dan Ayahnya dapat memperlakukan anaknya dengan adil, andai saja Daru mendapat perhatian orang tuanya, andai saja orang tuanya tidak maniak kerja, dan banyak kata andai yang hanya bisa Nayaka pendam sendiri.
Daru menatap sang kakak seraya mengangguk paham, batinnya berbicara sendiri kakak belum tahu hidup Daru, semua pergerakan, pikiran dan semua nya sudah lama di tekan oleh diri Daru sendiri. Tapi yang justru keluar dari bibir Daru hanya, "Everything happens for a reason." Daru tersenyum lembut. "Mereka pasti punya alasan kenapa nekan Kakak dengan kemauan mereka," ujar Daru. Yah, setidaknya ia bisa sedikit memberi motivasi kepada Kakaknya, dari pada tidak sama sekali. Dirinya tersenyum lega, ternyata ia tidak se-sampah yang orang tua nya kira. Dirinya bisa, harus!
"Hahaha sejak kapan kau mengeluh tidak bisa? Semua kau lakukan, asal kau tau."
Daru mendengus sebal, tidak bisakah 'dia' diam saja saat, ia sudah merasa mulai tenang?
Nayaka mulai menyesap teh yang dibawa nya sendiri. "Gimana sama kuliah, Ru?" tanya Nayaka mulai mengalihkan topik pembicaraan. Daru mengerutkan dahinya lalu matannya menerawang ke depan. "Biasa aja sih Kak, tapi akhir-akhir ini males kuliah aja," celetuknya ringan. Memang benar bukan kalau Daru malas kuliah akhir-akhir ini. Yah dia masih merasa takut secara berlebihan sekarang ini. Otaknya terus berpikir hal-hal yang aneh, tapi bukan Daru namanya kalau menyerah begitu saja.
Nayaka mengangguk, lalu mereka berdua terdiam beberapa saat, menikmati indahnya semesta di pagi hari. "Mereka baik-baik aja kan." Itu merupakan sebuah pernyataan bukan pertanyaan. Nayaka menoleh, seulas senyum terbit di bibir manisnya. "Semoga, Ru," ujarnya lembut.
Tak lama kemudian sebuah deringan dari ponsel membuat Daru dan Nayaka saling menatap. Tidak disangka ternyata yang menelepon adalah orang tuannya, Daru terkekeh sambil berucap, "panjang umur." Nayaka pun juga ikut terkekeh karena nya. Lalu ia segera menggeser tombol hijau yang ada di ponselnya.
"Halo."
" ... "
"Iya, Bu kenapa?"
" ... "
"Okay."