Pagi hari. Anggia bangun jam sepuluh. Kebiasaan yang sudah lama dilakukannya sejak menjadi penulis. Tidur menjelang pagi dan bangun menjelang siang. Ia masih berusaha menulis, meskipun semangatnya telah terkikis. Terutama karena ia juga terlibat dalam penulisan skenario. Matahari menyembul masuk melalui lubang angin, membuat matanya silau. Beberapa pesan masuk ke dalam inbox hp-nya.
Dari penerbit:
Bad news. Buku terakhirmu anjlok di pasaran.
Dari sutradara:
Skenariomu buruk sekali. Aku ingin kauperbaiki.
Anggia mengembuskan napas. Benar-benar bukan kabar baik untuk mengawali hari ini. Hari di mana ia memutuskan untuk menunda kematiannya. Penerbit itu adalah perusahaan milik ayahnya, tetapi memperlakukannya sebagaimana penulis lain. Keistimewaannya hanya kemudahan menerbitkan naskah dan promosi. Tetap saja masyarakat yang menentukan apakah bukunya laris atau tidak.
Buku terakhirnya adalah buku yang sudah ditulisnya dua tahun lalu, tapi baru beberapa bulan ini diterbitkan. Hasilnya juga sama dengan buku-bukunya yang lain. Hanya terjual kurang dari seribu eksemplar dalam enam bulan. Itu artinya, bukunya tidak laris dan nanti akan diobral. Anggia tidak tahu lagi bagaimana mengolah tulisannya agar bisa menarik banyak pembaca. Ia sudah kehilangan banyak ide dan inspirasi sejak hubungannya dengan Erlan terhalang restu ayahnya.
Hidup Anggia semakin hancur karena Erlan menghilang tanpa jejak. Hari itulah ia percaya bahwa tidak ada cinta sejati. Erlan tidak berani memperjuangkan cinta mereka, padahal Anggia sangat mencintainya. Erlan adalah sumber inspirasinya. Anggia merasa tak bisa bertahan tanpanya. Anggia memaki dirinya sendiri yang sangat bodoh karena sudah mencintai lelaki pengecut seperti Erlan. Sayangnya, cinta datang tanpa bisa memilih. Dan orang paling jenius sekalipun tidak bisa mengalahkan cinta.
Berbulan-bulan Anggia hidup dalam kubangan kesedihan. Anggia tak bisa melakukan apa-apa selain melamun. Produktivitas menulisnya turun drastis. Ranum, sahabatnya, memperkenalkannya dengan seorang produser film yang kemudian mengajaknya untuk menulis skenario, tapi ternyata tidak semudah bayangan. Sering kali Anggia mendapat sutradara yang kurang kooperatif. Masih bagus kalau sutradara itu hanya menjelek-jelekkan skenario yang Anggia buat dengan menguras pikiran. Yang sial adalah kalau sampai skenario benar-benar tidak jadi dipakainya dan itu berarti Anggia gagal mendapat bayaran dari skenario yang dibuat. Seperti sekarang, Anggia mendapat sutradara yang kurang lebih sama menyebalkannya dengan yang terdahulu.