“Ranum! Tumben-tumbenan nelepon. Ada apa?” Anggia sangat antusias menerima telepon dari Ranum. Pernikahan Ranum membuatnya seolah-olah kehilangan sahabat dekat yang selama ini selalu memotivasinya. Entah sesibuk apa Ranum sampai tidak sempat membalas pesannya. Mereka juga sulit bertemu karena Ranum selalu menemani suaminya dalam perjalanan bisnis. Anggia ingat perkataan Ranum dulu,
"Wah, asyik nih aku bakal keliling dunia dengan suamiku. Aku bakal punya banyak pengalaman untuk dituliskan di dalam novelku."
Anggia sendiri bukannya tidak bisa pelesiran seperti Ranum, tetapi ia bertekad tidak akan meminta uang lagi dari ayahnya untuk membiayai kebutuhannya. Jika ia menerima pekerjaan sebagai bos penerbit seperti yang diiinginkan ayahnya, ia juga bisa pelesiran ke mana-mana.
“Aku bakal pulang ke Jakarta. Aku pasti langsung ke rumahmu. Tungguin, ya. Aku bawa oleh-oleh dari Singapura,” kata Ranum, dengan nada riang. Ucapan Ranum itu membuat hati Anggia menghangat. Ah, seandainya kemarin ia jadi bunuh diri, ia tidak bisa bertemu Ranum lagi.
“Lho, bukannya kemarin bilangnya pergi ke Thailand.”
“Iya, tapi habis itu kan mampir ke Singapura. Aku sih cuma ikut my husband aja.”
“Oke, deh. Aku tunggu ya. Aku sudah kangen banget sama kamu.”
“Aku juga. Miss you.”
Hubungan telepon berakhir. Umur panjang, gumam Anggia. Baru saja dipikirkan, eh Ranum menelepon.
Belum sempat memusatkan pikirannya kembali ke skenario yang tengah ditulisnya, ponsel kembali berdering. Kali ini dari… Reda! Yup, ia memang sudah menyimpan nomor Reda karena gadis itu memintanya.
“Kak, boleh hari ini aku datang ke rumah Kakak? Aku baru saja menyelesaikan sebuah tulisan dan aku ingin Kakak mengkritisinya.”
Anggia tak langsung menjawab. Sungguh merepotkan. Hari ini ia sibuk sekali. Harus menyelesaikan skenario yang akan diserahkan ke Simon nanti malam. Tapi gadis itu, disadari Anggia, adalah motivator yang membuatnya tak jadi ingin mati. Pujian gadis itu terhadap karya-karyanya mengembalikan kepercayaan dirinya. Walaupun mungkin hanya bertahan beberapa hari, karena keinginan Anggia untuk mati tetap ada. Hidup sendirian di muka bumi ini, siapa yang menginginkannya?