Bayangan Kematian

Leyla Imtichanah
Chapter #4

#4 Konsultasi Novel

Hujan deras sejak sore, tak mengekang langkah Reda menuju rumah Anggia. Pertemuannya dengan pengarang itu di pantai adalah kebetulan indah yang tak pernah disangkanya. Siapa yang sangka ia bisa bertemu dengan pengarang kesukaannya saat sedang liburan, lalu mereka bicara berdua? Ia tak tahu kalau orang yang sepertinya hendak menceburkan diri ke pantai itu ternyata seorang pengarang terkenal. Ia sudah membaca semua karya Anggia dan semua memotivasinya. Ya, memotivasinya untuk bertahan hidup, bahkan memperjuangkan hidup itu sendiri. Ia lega karena ternyata dugaannya bahwa Anggia mau bunuh diri adalah salah. Anggia hanya ingin merasakan angin pantai.

Saat tahu bahwa orang yang kemudian duduk di depannya di kafe dekat pantai adalah Anggia Diandra, Reda tak bisa percaya. Penampilan Anggia terkesan apa-adanya. Bahkan bisa dibilang, lusuh. Ia memakai jas abu-abu dekil yang entah sudah berapa hari tidak dicuci. Rambutnya yang panjang dan bergelombang juga seperti tidak pernah mengenal sisir. Wajahnya kusam, meski masih terlihat cantik. Wajah itu terlihat dingin, tapi tetap mengusahakan diri tersenyum untuk menyenangkan Reda.

Kesimpulannya, Anggia tidak seoptimis tokoh-tokoh yang ada di dalam novelnya. Padahal Reda pernah berpikir, jiwa seorang pengarang terefleksi pada semua tokoh-tokoh dalam karangannya. Apa pun, ia tetap ingin dekat dengan Anggia, selain menyukai semua karya pengarang itu, ia juga ingin belajar dunia kepengarangan pada Anggia.

Rumah mungil itu telah terlihat di depan mata. Reda sudah tak sabar menerima ilmu mengarang dari Anggia. Meskipun hujan berusaha menghalangi, ia tetap datang memenuhi janjinya. Hujan baru turun saat ia sudah di dalam bus dan tak berhenti sampai ia turun dari bus. Ia tidak membawa payung dan sudah dipastikan tubuhnya basah oleh hujan.

Reda menghapus air hujan yang membasahi wajahnya. Tubuhnya menggigil karena dingin. Ditekannya bel rumah Anggia dan ditunggunya beberapa saat. Tak ada yang membukakan pintu. Ditekannya bel lagi untuk yang kedua kali. Masih sama. Akhirnya ditekannya bel itu berulang kali sampai pintu rumah terbuka. Di depannya, Anggia, menutup mulutnya yang menguap.

“Maaf, aku sedang tidur,” katanya. "Aku kira kamu tidak jadi datang. Hujan deras begini, lebih enak bersembunyi di bawah selimut."

“Oh, maaf, Kak. Aku mengganggu tidur Kakak, ya?” Reda merasa bersalah.

“Aku tidak sengaja tidur. Aku ketiduran. Masuklah.” Anggia membuka pintu lebar-lebar untuk Reda.

Reda takjub melihat isi rumah Anggia yang superberantakan. Kertas dan majalah berserakan di mana-mana. Juga ada cemilan dan kaleng minuman ringan yang sudah kosong. Komputer dibiarkan menyala. Rumah itu kusam, seperti tak dibersihkan berhari-hari. Anggia harus menyingkirkan jaket dan celana panjangnya yang tergeletak di sofa, agar Reda bisa duduk.

“Maaf, berantakan sekali. Aku sudah baca tulisanmu,” kata Anggia sambil mengambil minuman ringan untuk Reda di kulkas kecilnya.

“Lalu bagaimana, Kak?” tanya Reda, antusias.

“Bagus. Penceritaan ringan. Sayang, konfliknya datar sekali. Orang akan bosan membacanya.”

“Oh....” Reda manggut-manggut. “Berarti masalahnya ada di konflik.”

“Aku ingin kau memperbaikinya. Idenya unik. Jangan sampai tidak jadi.”

“Itulah masalahnya. Aku gampang bosan. Apalagi kalau disuruh merevisi terus-menerus.”

“Penyakit penulis pemula. Yang lebih parah, kalau sekali ditolak penerbit, langsung berhenti. Hanya orang-orang yang pantang putus asa saja yang bisa berhasil menjadi penulis terkenal.” Anggia teringat Erlan saat mengucapkan kalimat itu. Ia lupa kalau ia sendiri tidak merasakan perjuangan ditolak naskahnya, karena perusahaan ayahnya sendiri yang menerbitkannya.

Lihat selengkapnya