Alya duduk terdiam di atas tempat tidurnya, tubuhnya masih gemetar setelah peristiwa yang menegangkan tadi malam. Suasana di sekitar kamar terasa semakin berat, meskipun dia sudah mencoba untuk menenangkan diri. Rasa takut itu belum hilang, dan suara-suara aneh yang datang dari lorong masih terngiang di telinganya. Kali ini, rasa takutnya bukan hanya karena kosan ini yang terasa angker, tetapi juga karena ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Dia menatap sekeliling kamar, matanya berhenti pada foto yang tergeletak di atas meja. Foto itu adalah foto lama, sebuah foto keluarga yang diambil ketika dia masih kecil. Dia bisa melihat dirinya yang tersenyum ceria, duduk di samping ibunya. Wajah ibunya tampak penuh kasih, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Alya bisa melihat ketegangan yang tersembunyi di wajah ibunya—sebuah ketakutan yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya. “Kenapa aku tidak pernah memperhatikan ini?” pikir Alya.
Foto itu mengingatkannya pada kenangan masa kecil yang sering diceritakan oleh ibunya. Cerita-cerita tentang kuntilanak dan hantu-hantu yang sering menakut-nakuti anak-anak. Ketika dia kecil, Alya selalu menganggap itu hanya cerita belaka, cerita rakyat yang tidak lebih dari sekadar dongeng. Namun, kini dia mulai merasakan bahwa semua yang diceritakan ibunya memiliki hubungan yang lebih dalam dengan apa yang dia alami di kosan ini.
"Alya, ingat selalu, kuntilanak itu bukan hanya hantu yang menunggu di pohon atau di tempat gelap. Kadang, dia bisa masuk ke dalam pikiranmu, membuatmu takut pada bayanganmu sendiri," suara ibunya terngiang jelas dalam pikirannya. Alya terkejut. Kenapa sekarang, kata-kata ibunya itu terasa begitu nyata? Seolah-olah itu adalah peringatan tentang apa yang sedang dia alami sekarang.
Alya menutup matanya, mencoba mengingat lebih banyak kenangan dari masa kecilnya. Dia ingat bagaimana ibunya selalu mengajarkan untuk berhati-hati ketika malam tiba, untuk tidak berjalan sendirian di jalan yang sepi, atau dekat pohon besar yang gelap. "Jangan keluar malam, Nak. Kalau tidak, kuntilanak akan datang dan menunggu," kata ibunya dengan penuh rasa takut. Waktu itu, Alya hanya tertawa dan menganggapnya sebagai cerita yang biasa, tetapi kini perasaan itu kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. "Apakah semua ini benar? Apakah cerita ibuku itu bukan hanya dongeng?"
Alya membuka matanya dan menatap foto itu lagi. Ketegangan yang tersembunyi di wajah ibunya semakin jelas terlihat. “Mungkin ibu tahu sesuatu yang tidak pernah diceritakan padaku,” pikir Alya. Kenapa ibu selalu mengajarkan cerita-cerita itu dengan begitu serius? Kenapa ada rasa takut yang begitu mendalam di balik kata-katanya? Apakah mungkin ada hubungan antara cerita-cerita itu dengan apa yang terjadi di kosan ini?
Alya teringat bahwa beberapa waktu lalu, ibunya pernah bercerita tentang kosan ini, meskipun tidak begitu banyak. "Dulu, kosan itu sering jadi tempat tinggal orang-orang yang hilang, atau yang menghilang tanpa jejak," kata ibunya suatu ketika. Alya tidak terlalu memperhatikannya, karena dia mengira itu hanya cerita lama yang tidak penting. Namun, kini, setelah semua yang terjadi, kata-kata itu kembali terngiang di benaknya. "Apakah ada hubungan antara kosan ini dan cerita yang ibuku ceritakan?"
Dengan pikiran yang semakin kacau, Alya memutuskan untuk berbicara dengan Ibu Yanti, pengelola kosan. "Mungkin dia tahu sesuatu," pikir Alya. Mungkin Ibu Yanti tahu lebih banyak tentang penghuni kosan sebelumnya, atau bahkan tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tetapi saat Alya hendak keluar untuk mencari Ibu Yanti, dia kembali mendengar suara langkah kaki di lorong, lebih jelas daripada sebelumnya. Suara itu semakin mendekat ke kamarnya.
Alya terhenti sejenak. Tubuhnya terasa kaku, dan napasnya terhenti sejenak. Langkah kaki itu semakin mendekat, lebih cepat dari biasanya, seperti ada seseorang yang berjalan dengan tujuan yang jelas menuju kamarnya. Alya menunggu, tidak berani bergerak. Suara langkah itu berhenti tepat di luar pintu kamarnya. Tidak ada suara lain, tidak ada bisikan. Hanya keheningan yang semakin menekan.
Alya menghela napas dalam-dalam dan membuka pintu dengan hati-hati. Ketika pintu terbuka, dia melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Di depan pintu kamarnya, berdiri sosok wanita dengan gaun putih yang kotor, wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang terurai. Sosok itu berdiri diam, menatapnya dengan tatapan kosong yang menakutkan. Mata Alya membelalak, dan tubuhnya hampir jatuh, tetapi dia berhasil menahan diri. "Apa yang terjadi?" pikirnya dengan panik, tetapi sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, mengawasinya.
Alya terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bayangan sosok itu semakin mengerikan, dan perasaan takut itu semakin menguasainya. Setiap detik terasa semakin lambat, dan semakin dekat dengan kenyataan yang tidak bisa dia hindari. "Apa yang kamu inginkan dariku?" Alya berteriak, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Sosok itu tidak menjawab, hanya tetap diam, menatapnya.
Saat itulah Alya menyadari sesuatu yang mengerikan. Di balik sosok itu, ada sebuah cermin kecil yang terpasang di dinding. Dalam pantulan cermin itu, dia bisa melihat bayangan dirinya yang terbalik, tetapi di belakangnya, di pantulan cermin, ada sesuatu yang lebih jelas. Bayangan seorang pria berdiri di sana, wajahnya tersembunyi dalam bayangan, namun ada sesuatu yang sangat gelap dan menakutkan tentangnya. Seolah dia tidak sendirian, seolah ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang mengikutinya.
Alya terjatuh, tubuhnya gemetar. Perasaan terperangkap semakin kuat. “Aku tidak bisa melarikan diri dari sini,” pikir Alya dengan panik. “Apa yang terjadi di kosan ini? Apa yang ingin mereka katakan padaku?”
Alya berdiri terdiam, tubuhnya gemetar, menatap cermin yang tergantung di dinding. Sosok wanita dengan gaun putih yang kotor masih berdiri di depan pintu, menatapnya dengan tatapan kosong yang menakutkan. Namun, saat dia menoleh ke cermin, bayangan itu berubah. Bukan hanya wanita dengan gaun putih yang terpantul di cermin, tetapi juga sosok lain yang lebih gelap, lebih mengerikan. Pria yang tak terlihat jelas wajahnya, hanya tampak bayangan gelap yang mengikuti setiap gerakannya.
Jantung Alya berdegup semakin kencang. Tubuhnya terperangkap dalam ketakutan yang semakin dalam, seolah-olah dia berada di dalam mimpi buruk yang tak berujung. "Apa yang sedang terjadi? Siapa mereka?" pikir Alya, dengan tubuh yang semakin terasa lemah. Setiap detik di kosan ini terasa semakin berat, dan perasaan terperangkap semakin mencekam. Sosok-sosok itu—wanita dengan gaun putih, pria gelap di cermin—semuanya tampak terhubung, seolah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Dia berbalik dengan cepat, ingin lari, tetapi langkah kakinya terasa terhambat. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat yang aman. Kosan ini semakin terasa seperti penjara, dan semakin lama dia berada di sini, semakin kuat perasaan itu menguasainya. "Tidak bisa… aku tidak bisa tinggal di sini," pikir Alya, suara hatinya semakin panik. Namun, ketika dia mencoba melangkah keluar, pintu kamar yang sebelumnya terbuka dengan sendirinya kini terkunci rapat.