Langit senja memudar menjadi gelap ketika Aira terduduk di sudut ruangan, tangannya menggenggam cangkir teh yang tak lagi panas. Pikirannya berkelana, jauh dari kenyataan yang sedang dihadapinya. Berat, sulit, dan penuh kebimbangan. Kehamilan yang tak terduga mengubah hidupnya dalam sekejap.
Sahabatnya, Arga, duduk tak jauh dari sana. Tatapannya penuh empati, tetapi ada kebingungan di balik senyumnya yang lembut.
”Aku harus bagaimana, Ga?" Aira bertanya dengan suara serak, hampir seperti bisikan.
Arga terdiam sejenak, menatap Aira dengan keprihatinan yang dalam. "Kau harus berbicara dengannya, Ai. Dia harus tahu, dan dia harus bertanggung jawab."
Kata-kata itu terasa sederhana, namun berat di hati Aira. Ia tahu, Bram takkan pernah siap menghadapi kenyataan ini. Lelaki yang dulu ia cintai, kini hanya meninggalkan luka dan rasa bersalah yang mendalam.