Bayangan Masalalu

Nunnasizha
Chapter #2

Ketika Cinta menjadi luka.

Aira melangkah masuk ke dalam hotel dengan hati berdebar. Suara langkahnya teredam oleh karpet lembut yang membentang di lantai. Rasa cemas menggulung di perutnya, tetapi keputusan untuk bertemu Bram di sini terasa perlu. Dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghadapi kenyataan.

Ia memeriksa pesan di ponselnya sekali lagi. Bram sudah menunggu di salah satu kamar. Dengan menghela napas dalam-dalam, Aira melangkah menuju lift, berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa.

Ketika pintu lift terbuka, ia merasakan semua yang terjadi sebelumnya—kehamilan, penolakan, dan kesedihan—berada di ujung tanduk. Aira mengetuk pintu kamar, menunggu jawaban yang bisa membawa harapan atau semakin dalam ke jurang kekecewaan.

Pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Bram dengan senyum semringah, wajah tampannya menyiratkan pesona yang sulit ditolak. Namun, ada nuansa brengsek dalam tatapannya, seolah pikirannya dipenuhi kemauan untuk tidur bersama Aira setiap kali mereka bertemu.

Meskipun hatinya berdebar dan cemas, Aira tahu bahwa dia harus melangkah masuk dan menghadapi apa pun yang akan terjadi. Dia mengumpulkan semua keberaniannya, meski menyadari bahwa pertemuan ini bisa mengubah segalanya.

Aira duduk di atas ranjang, diam sejenak mengumpulkan keberanian untuk memberitahu Bram.

"Sepertinya kau sangat merindukanku sampai ingin segera menemuiku," ujar Bram sambil tersenyum. Tangannya melingkar di pinggang Aira, mencoba menciptakan suasana yang hangat.

Aira meneguk saliva yang terasa berat. "Bram, aku hamil!" katanya dengan tegas, menatap Bram dengan mata berkaca-kaca, berusaha menunjukkan ketegasan di balik ketakutannya.

Bram terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menyeringai. "Hamil?" Ia terkekeh dengan tawa kecil, tetapi ada keraguan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan.

"Bram, aku serius. Aku hamil, dan ini anakmu!" Aira mengulangnya, suaranya bergetar penuh harap.

"Kau ingin aku bertanggung jawab?" Aira menatapnya penuh harap, menahan tangis yang semakin mengancam.

Bram menatap Aira dalam-dalam, senyum remeh terukir di bibirnya. "Kau serius ingin aku bertanggung jawab? Cih..." Dia membuang pandangannya dengan tawa yang meremehkan.

"Jangan gila, Aira. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu."

"Tapi ini anakmu, Bram! Kau harus bertanggung jawab!" Aira tak bisa menahan air mata yang jatuh.

Bram menggeleng, tatapannya dingin dan tidak peduli. "Apa aku pernah mengatakan akan menikahimu? Hm?" Aira terdiam, air matanya mengalir deras.

"Kita melakukannya atas dasar sama-sama suka, dan tidak ada kesepakatan apapun sebelum itu. Kau juga menikmatinya..." senyumnya yang mengejek kembali terukir, mengiris hati Aira.

Lihat selengkapnya